Minggu, 29 Juni 2008

Andai-andai Lapindo



Beberapa kali ada yang nanya kayak gini kepada saya.
"Ah anda kan cuma bisa mencela saja. Coba kalau anda dalam posisi Lapindo, apa anda tidak juga akan mengambil langkah serupa?"
"Menurut anda apa usulan konkret yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalah Lapindo"

Saya punya tiga versi jawaban untuk pertanyaan diatas, yang asal, marah2 dan yang serius.

Untuk yang asal, saya akan jawab gini (dengan gaya Gus Dur):
"Ya suka2 saya, blog saya yang bikin, mau ngomong apa ngomentari apa ya terserah kan. Kalo gak suka ya gak usah dibaca, gitu aja kok repot."

Untuk yang marah2, saya akan jawab gini:
"Eh, kamu sialan ya, ngomong dipikir dulu dong yang bener. Yang harus ngerti posisi itu Lapindo, tolol! Ayo kalau mau tukeran, kami nginep di Hotel, Lapindo yang nginep di pasar selama dua tahun. Kalau kayak gitu, mau diselesaikan cepat atau lambat2 yah terserah. Lagian, kamu sinting ya, yang disuruh mikir solusi itu yah mereka. Kan ada tuh Freedom institute. Pemerintah juga punya banyak pakar tho, di BPPT. Atau orang2 kampus yang jago2 itu. Faktanya 2 tahun toh gak ada rencana konkret apa2. Kok malah korban yang disuruh mikir. Orang mikir perut aja sekarang dah susah kok. Sana deh minggat, sebelum aku benemin lumpur, Monyet!"

Untuk yang serius, saya akan jawab gini:
"Yah, 2009 nanti saya jadiin ketua BPLS deh, baru akan saya beberkan rencana saya"

Hehehe, kayak kampanye salah satu capres aja. Ndak, saya nggak punya jawaban yang serius. Saya cuman bisa mengajak anda berandai2, tetapi dengan dua asumsi dasar. Asumsi pertama, data Forbes itu benar. Bahwa "Kau Tahu Siapa" kekayaan pribadinya beneran 9,2 miliar dolar. (Eh, kekayaan pribadi ini artinya harta pribadinya saja kan, belum termasuk aset grup perusahaannya?) Asumsi kedua, nah ini yang saya kira sulit, "Dia yang Namanya tidak boleh Disebut" beneran punya hati dan kepedulian.

Begini andai-andainya. Dengan kekayaan dan sumber daya lain yang mereka miliki, sangat banyak hal positif yang bisa dilakukan untuk membantu korban. Alih-alih mengeksploitasi, mereka bisa membantu meringankan beban penderitaan korban akibat tragedi kemanusiaan maha dahsyat ini. Dengan 20-25 persen saja dari kekayaannya, Abu..r.i..z....(Pokoknya Anda Tahulah), akan bisa secara mendasar menyelesaikan bencana Lapindo sekaligus memulihkan kondisi korban.

Buat apa duit 20-25 persen dari kekayaan Bakrie itu dibelanjakan?
5 persen untuk menutup semburan
5 persen untuk membangun 'perumahan' yang diberikan secara 'cuma2' kepada korban.
5-10 persen untuk memulihkan lokasi dan infrastruktur.
5 persen untuk investasi industri migas di Sidoarjo

Dalam proses-nya, korban akan dilibatkan secara intensif, terutama yang kehilangan pekerjaan. Pembangunan perumahan akan memakai tenaga kerja dari korban (tidak seperti sekarang, pada saat korban justru banyak yang butuh pekerjaan, tidak ada satupun yang dipekerjakan oleh Lapindo).

Pembersihan lokasi dan pengalihan infrastruktur juga demikian. Sedangkan untuk pengelolaan wilayah yang tenggelam (perumahan atau industri pengolahan migas dan berbagai produk turunannya) harus didirikan perusahaan baru, dimana korban akan menjadi pekerja sekaligus pemilik sebagian dari saham. Share-nya dihitung berdasar luasan aset yang tenggelam.

Berbagai kegiatan ekonomi yang bisa dilakukan korban dalam proses ini, akan dipakai untuk menyicil rumah yang mereka tempati (sehingga rumah itu nantinya akan menjadi hak milik korban).

Maka korban akan pulih hidupnya, dan Bakrie Group tetap akan memperoleh keuntungan bisnis sekaligus kehormatan lepas dari do'a dan kutukan ratusan ribu orang di Sidoarjo (dan mungkin jutaan orang Indonesia lainnya). Lha iya, kadang saya itu berpikir, apa gunanya punya duit puluhan triliun yang bisa dinikmati entah sampai berapa generasi ke depan, tetapi setiap hari dikutuk dan didoakan jelek oleh ratusan ribu orang.

Bayangin. Saya aja kalau misalnya ada yang mendoakan jelek, satu orang saja, pasti tidak akan bisa tidur, dan akan berusaha sebisa mungkin agar orang tersebut tidak jadi mendo'akan saya yang jelek2. Lha ini ratusan ribu orang je. Apa ya nggak bakalan do'a satu atau dua orang akan tembus. Apa gak malah jadinya sengsara tujuh turunan.

Ah, andai saja...


Read More ..

Resettlement ala Lapindo yang ra-settle-temen


Beberapa waktu belakangan ramai diberitakan bahwa Lapindo menawarkan resettlement. Bahkan Lapindo juga memasang 'iklan' tentang betapa murah hatinya mereka dengan tawaran ini. Tetapi, dikabarkan juga bahwa ternyata 'kebaikan hati' ini banyak ditolak oleh korban. Namun setelah melalui berbagai manuver, seperti biasanya, korban akhirnya takluk juga. Lalu apa sebenarnya dasar penolakan korban? Dan apa sebenarnya yang dimaksud dengan konsep resettlement oleh Lapindo?

Kenapa korban menolak?
Bahwa banyak korban yang emoh dengan pola resettlement (istilah ini perlu didekonstruksi, akan sy uraikan dibawah) yg sekarang digembar-gemborkan Lapindo dan pemerintah. Kenapa mereka emoh?
- Pertama,
korban (kecuali dari perumtas) pada dasarnya adalah orang desa. Tinggal di perumahan sama sekali bukan pilihan bagi mereka. Ada guyonan yang beredar di warga kayak gini (sori pake bahasa Jawa, soalnya klo diterjemahkan bhs Indonesia dadi aneh. Bagi anda yang perlu terjemahannya, kirim email ke saya, nanti saya charge Rp. 1000 perkata, hehehe).

"Lha nek sampean duwe sapi, kate di depek mbale tah?"
"Lha laopo lho?"
"Lha wong sampean gak duwe lawang mburi, kok. Dadi melbu metune sapi yo lewat mbale, koyok tamu"

"Engko lek ngarit ambek ngasak yo nang sukete stadion utowo nang alun2"

"Sampean gak duwe KTP kan, yo gak iso urip nang perumahan"
"Lha laopo?"
"Praen sampean iku gak pantes dadi wong sugih, dadi satpame yo gak percoyo lek sampean omahe nang kono. Lha engko mesti ditakoni KTP"

Dan masih banyak lagi yang seperti itu. Intinya, hidup di perumahan tidak akan compatible dengan gaya hidup warga.

Kedua, lokasi yang disediakan cukup jauh dari Porong/Tanggulangin. Lha bagaimana dengan tambak dan sawah mereka? Bagaimana dengan kerjaan yang jualan bakso atau buka warung disana? Bagaimana dengan anak2 yang sekolah disana? Pendeknya banyak kendala teknis yang akan memberatkan.

Ketiga, kalaupun mau di perumahan, jelas tidak di KNV yang disediakan Lapindo. Sebab harga yang dipatok mereka sangat mahal, dibanding perumahan lain yang bisa dibeli di Sidoarjo (dan bisa jadi lokasinya lebih dekat dengan lokasi asal mereka)

Keempat, banyak korban yang sudah menerima uang muka pembayaran 20 persen membelanjakannya untuk nyicil dengan beli tanah dan bahan bangunan. Mbangunnya yah dengan pakai uang yang 80 persen yang sudah dijanjikan (bahkan di sumpah lho! Kalau ada temannya cak nun yang mbaca tulisan ini, mbok ditanyakan apa sanksinya kalau Lapindo mblenjani gak mbayar? Atau sumpah dulu itu hanya untuk korban)

Karena itulah, sebagian besar korban PADA AWALNYA menolak skema ini. Kenapa pada awalnya saya tulis kapital dan tebal? Karena pola semacam ini memang bukan yang pertama. Kalau istilah salah satu kuis di tipi itu, Lapindo yang selalu dapat good deal. Dalam prosesnya dilakukan berbagai cara dan dihembuskan berbagai isu, yang menjadikan tidak memilih resettlement ala Lapindo sama sekali bukan pilihan bagi korban. Warga ditakut2-i
kalau tidak menuruti skema ini, mereka tidak akan dibayar sama sekali. Silahkan gunakan jalur pengadilan (lha...dalah, kok malah nantang!) Atau menunggu giliran mbuncit setelah pemilu 2009, yang pada saat itu, entah Lapindo masih mau mbayar atau tidak (lha wong dasar hukumnya cuma perpres, iya kalo presidennya (naudzubillah!) kepilih lagi).

Bahkan, situasinya sudah jauh bergeser dan tidak lagi muncul pertanyaan kenapa korban harus memilih tawaran Lapindo itu. Kalau permintaan korban sedikit aja tidak sesuai, maka Lapindo akan menjadikan perpres sebagai tameng. Tapi kalau Lapindo yang merasa perlu mengadali perpres, mereka akan memakai segala cara untuk membenarkan. (Lha herannya yang bikin perpres kok ya diam saja yah perpres-nya dikadalin seperti itu? Atau apakah karena dia memang sudah duluan dikadalin oleh Bakrie)


Tentang Resettlement.

Setelah menjelaskan tentang kenapa korban menolak, saya perlu jelaskan juga tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan resettlement ala lapindo. Istilah resettlement yang ditawarkan oleh Lapindo menurut saya jelas sangat salah kaprah dan keblinger. Tetapi sekali lagi, berhubung hampir semua media sudah mengamini (tidak hanya publik saja yang bermemori pendek, media2 yang punya bagian litbang atau yang mengarsip, kok ya bisa2nya gak mengangkat secara kritis masalah ini), yah mau gimana lagi. Saya paling tidak perlu memberi tahu kepada publik yang sebenarnya. Begini salah kaprahnya.

Pada awal2 semburan, saat semua masih belum jelas, bagaimana bentuk pertanggungjawaban Lapindo, wacana ini sudah muncul (lihat tulisan kenapa korban bertahan) Masalahnya adalah, berbagai macam wacana, semuanya hanya sebatas itu. Komentar pejabat, janji wapres, himbauan menteri, perintah presiden, atau apapun lah. Pendeknya, seperti iklan teh botol, apapun wacananya, pelaksanaanya, gak konkret. Korban sudah sangat mahfum akan hal ini, tapi apa mau dikata, dan bisa apa?

Nah pada saat kemudian muncul perpres dan orang sudah terpaksa menerima dan merencanakan masa depan dengan mengacu perpres itu, tiba-tiba ada upaya sistematis untuk 'mementahkan' lagi proses. Lapindo tiba2 muncul lagi bak pahlawan dan dermawan kelas wahid yang akan menyediakan rumah dan kehidupan yang lebih baik bagi korban. Berbagai cara dilakukan untuk menjustifikasi bahwa resettlement ini yang paling tepat bagi korban (termasuk, Masya Allah, menyewa 'pelacur2' akademik dari salah satu kampus ternama di Surabaya) .

Padahal, konsep resettlement ala Lapindo berbeda sama sekali dengan konsep awalnya.
Bedanya, yaitu, yang dulu resettlement adalah korban disediakan tempat tinggal baru, sementara rumah mereka tenggelam oleh lumpur. Ini adalah murni bentuk ganti rugi. Tidak ada pengalihan hak dari aset korban yang sudah tenggelam. Lapindo menyediakan rumah, dan tidak mendapat apa2 sebagai imbal balik. Kenapa mereka mau melakukan itu? Yah karena seharusnya mereka bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh korban akibat ulah mereka.

Sementara kalau yang sekarang, sebenarnya lebih pada tukar guling secara paksa. Karena warga harus menjual aset mereka dan diganti dengan yang baru. Dengan skema yang sekarang,
alih2 mengalami kerugian, Lapindo justru akan mendapat keuntungan finansial, yang maksimal.
Benar-benar biadab.

Ma'af kalau kata2 saya kasar, sebab saya paling sebel dan merasa nalar saya diinjak2 kalau ada yang bilang atau menganggap bahwa Lapindo sekarang sedang menanggung kerugian. Tidak benar sama sekali. Malahan mereka justru untung. Kenapa saya bilang seperti itu?

Ini analoginya (ma'af klo ada yang pernah dengar).

Ada mobil nabrak motor. Klo si penabrak bertanggungjawab, maka si pengendara motor dibawa ke rumah sakit, motornya diperbaiki. Setelah sembuh, motor yang sudah lebih baik itu dikembalikan, dan diberi entah uang atau bentuk lain sebagai ganti 'kerugian' yang dialami oleh
Korban. Baik karena sakitnya, kehilangan waktu, atau kehilangan pendapatan. Si korban pulih, dan penabrak mengeluarkan biaya, tanpa dapat imbalan apa2, selain rasa hormat bahwa dia ternyata bertanggungjawab.

Dalam masalah Lapindo ini, alih-alih dirawat dan motornya di perbaiki, pengendara motor hanya diganti oleh uang. Penghitungannya tidak didasarkan pada kebutuhan (biaya perawatan, perbaikan motor dan ganti rugi lainnya). Jadi cukup tidak cukup ya duit itu yang dipake agar si
korban bisa pulih lagi. Masalahnya, agar uang tersebut bisa diberikan, pengendara motor harus menyerahkan motornya kepada penabrak. Jadi dia mengeluarkan duit, tetapi dapat motor. Bisa dikatakan impas-lah.

Pada titik ini saja, setiap orang waras (dan media yang cerdas dan bermoral) mestinya sudah harus menganggap bahwa penabrak termasuk orang yang tidak bertanggungjawab. Tetapi kecurangan Lapindo ternyata tidak berhenti sampai disitu. Ternyata belakangan, uang itu tidak jadi diberikan, tetapi diganti dengan dibelikan motor baru oleh Lapindo.

Lha bagaimana dengan biaya2 pengobatan, kesakitan, kehilangan waktu, kehilangan kenormalan (sebab mungkin dia cacat), kerugian karena tidak bekerja, dan sebagainya? Ya tidak dihitung. Bangsatnya lagi, ternyata penabrak adalah pengusaha diler motor. Tentu saja dia dapat untung
dari sana (bayangkan 13 ribu unit perumahan, akan terjual dalam waktu 6 bulan).

Sudah? Ma'af kalau saya mengecewakan kawans tentang anggapan terhadap kadar ke'bangsat'an Lapindo. Tetapi memang selain bencana ini unprecedented dalam hal skala besarnya kerusakan, tetapi juga dalam hal tingkat kebejatan yang bisa dicapai oleh manusia dan korporasi. Dalam bencana ini, jelas bahwa Grup Bakrie memang biangnya Bangsat. Kalau orang Sidoarjo bilang, mbokne ancuk atawa mother fucker...

Ternyata, motor yang sudah diserahkan tadi, si penabrak punya usaha bengkel. Jadi motor itu nanti bisa diperbaiki, dan kembali utuh bahkan bisa dimodifikasi lebih baik, sehingga bisa dijual lagi. Suatu saat lumpur akan berhenti nyembur (kawan2 di Gerakan Menutup Lumpur Lapindo yakin akan hal ini dan punya proposal yang sangat jelas).

Maka lahan yang sudah tenggelam yang 800 ha itu nantinya akan dikembangkan sendiri oleh BakrieLand Developer (10 tahun lalu, siapa sih yang mau beli tanah di kawasan pantai indah kapuk). Dibangun mall, akses tol dipulihkan, dibangun akses marina, jadilah perumahan mewah di kawasan selatan Surabaya. Harganya jelas akan jauh lebih mahal dari yang sudah ada. Belum lagi kalau dugaan bahwa di bawah ternyata ada deposit migas yang sangat besar.

Jadi Lapindo saat ini tidak sedang mengeluarkan duit untuk ganti rugi, tetapi investasi aset untuk pengembangan korporasi Grup Bakrie. Korban yang sudah sedemikian susah karena bencana ini, masih diinjak2 oleh keserakahan Lapindo. Sementara kami semakin sengsara, Bakrie justru semakin menggelembung aset dan bisnisnya.

Mau tahu pembuktian paling gampang dari masalah ini? Toh lahan itu tenggelam oleh lumpur dan tidak bernilai ekonomis kan? Coba aja minta mereka mengembalikan kepemilikan lahan kepada korban, atau serahkan aja lahan tersebut kepada negara. Ya jelas mereka akan mencak2. Sebab mereka memang tengah mengembangkan berbisnis di Sidoarjo, dan bukan sedang bertanggungjawab atas keteledoran yang mereka lakukan.

Ra-settle-temen

Begitulah, meskipun sangat pahit dan saya mungkin akan terancam untuk diteror oleh orang-orang 'Kau Tahu Siapa', tetapi saya harus menuliskan apa yang terjadi di Sidoarjo. Bahwa apa yang mereka sampaikan di media adalah upaya yang sistematis untuk mensamarkan keserakahan korporasi yang tiada tara ini.

Jadinya, bagi korban, konsep resettlement yang ditawarkan Lapindo ini sama aja dengan konsep cash and carry yang sudah mereka pelintir dulu. Kalau cash and carry dulu oleh korban dinamakan bayar kes (tunai) 20 persen, 80-nya keri-keri (belakangan, entah kapan). Kalau resettlement kini diartikan ra-settle-temen, atau ya tidak kunjung membuat nasib korban jadi lebih jelas, malah mengulur waktu.

Read More ..

Senin, 16 Juni 2008

Ayo keroyok Bakrie rame-rame (bag - 2/habis)


Sampai kemudian, ternyata semua teriakan dan seruan saya ternyata tidak benar-benar membentur tembok. Saya mendapati ternyata tidak semua warga bangsa ini yang sesat logika dan tumpul nurani dalam menyikapi masalah Lapindo. Di samping sejumlah kecil kawan dan lembaga yang telah lebih dulu sy kenal dalam masalah Lapindo, ada tambahan kawan-kawan baru yang berperan besar meneguhkan kesimpulan saya itu.

Dari sejumlah kawan tersebut, muncul keyakinan baru bahwa sebenarnya memang orang/lembaga yang peduli dengan masalah Lumpur Lapindo dan nasib korban ini masih sangat banyak. Kalau saja saya menabung seribu rupiah tiap kali dengar atau baca ada orang atau lembaga yang peduli dengan masalah Lapindo, pasti sekarang saya sudah kaya raya.

Masalahnya, dukungan dan kepedulian dari berbagai orang/lembaga tersebut berdiri terpisah-pisah, dan muncul berserakan di sana-sini. Mereka datang dengan latar belakang pemahaman masalah, pendekatan yang sendiri-sendiri, dan tentunya kepentingan yang berbeda-beda juga.

Pun juga antar pihak yang peduli tersebut kadang tidak saling berkomunikasi, sehingga satu sama lain tidak bisa saling sinergi, apa yang sudah dilakukan, kepada kelompok yang mana, apa pelajaran yang bisa dipetik, siapa aktor benar, siapa juga yang makelar, mana yang patut kita dukung, mana yang perlu digebukin rame-rame.

Kemudian ada juga perasaan yang timbul, bahwa masalah Lumpur Lapindo ini sedemikian besar dan ruwet. Kalaupun ada pihak yang mau berbuat sesuatu, apa yang bisa dilakukan menghadapi masalah yang sedemikian pelik. Apalagi kalau dia hanya sekedar individu, tentu akan bingung, bagaimana mulai melakukan sesuatu, kalau mau nyumbang, kemana; nyumbang apa; buat korban yang mana, dan macam-macam lainnya.

Kondisi ini kemudian menimbulkan posisi yang pada dasarnya saling menunggu dan membiarkan public sedikit demi sedikit, ‘termakan’ oleh kampanye sesat media Lapindo.
“Ah, memang masalah Lapindo sudah selesai kok, kan gak ada demo2 lagi”.
“Yang protes kan itu-itu aja, mau cari untung kali”
“Kan Wapres bilang sudah diberi ganti untung”
“Kemarin saya baca, korban semua sudah dapat rumah, bagus-bagus lagi”.
"Bakrie bilang itu kan bencana alam, enak dong diganti rugi"
“Kalau ada masalah, pasti LSM-LSM dan mahasiswa pada mbelain korban Lapindo.”
“Itu kan masalah kecil, Metro TV aja nyebutnya sekarang Lumpur Porong”
Bahkan, “Lumpurnya sudah berhenti kan.” Sialan...

Maka saya merasa harus ada yang mulai secara serius menerobos kebuntuan ini. Membariskan semua pihak yang peduli dengan penanganan bencana lapindo dan nasib korban. Meluruskan segala macam penyesatan public yang dilakukan oleh Keluarga Bakrie, mendorong Bakrie mengambil tanggung jawab penuh dalam menyelesaikan masalah Lapindo.

Tidak harus dibawah satu panji, karena bangsa kita terkenal paling sulit untuk bisa menyisihkan ego. Tapi paling tidak, semua bisa berbagi, dalam bahasa yang sama, dengan tuntutan yang sama. Apa itu? Di titik ini belum ada. Tetapi yang paling ideal tentu saja adalah kembalikan hak2 korban, pulihkan lingkungan di Sidoarjo.

Apa langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mewujudkan tuntutan itu? Di titik ini, belum ada, dan gak jelas. Tetapi kalau nunggu adanya sebuah desain besar dan sempurna dari sebuah aksi yang ideal, maka sampai semua Sidoarjo tenggelam, yakin rencana itu tidak akan pernah terwujud.

Maka bayangan saya sesederhana ini. Kumpulkan semua pihak yang peduli dengan masalah Lapindo, individu maupun lembaga. Bikin wadah informasi yang bisa diakses oleh semua dan untuk semua. Kita solidkan rencana dalam proses itu, juga proses seleksi dan semua memberi kontribusi. Dari proses itu, sy yakin akan menghasilkan rencana aksi dan tindakan yg lebih konkret dibanding yang selama ini sudah terjadi.

Siapa yang bisa dan mampu melakukan upaya ini? Menurut saya banyak sekali yang sebenarnya mempunyai kualifikasi, baik individu maupun lembaga, untuk melakukan inisiatif pengorganisasian semacam ini. Masalahnya menurut saya ya sesederhana bahwa memang tidak yang mau. Saya akan bisa menerima alasan waktu atau kesempatan tidak tepat, kalau bencana ini baru berjalan 1 atau 2 bulan. Tetapi setelah 2 tahun (lebih dari 700 hari) masih belum ada, berarti ya sesederhana, memang gak ada yang niat melakukannya.

Maka, saya kemudian memilih untuk tidak diam dan menunggu, dan tahu-tahu bencana Lapindo sudah diperingati tahun ketiga, dan korban semakin nambah, sementara Bakrie kekayaannya nambah 50 trilyun lagi.

Biar saja kata orang caranya gak bener, metodologinya ngawur, tampilannya jelek, bahasanya kacau. Lha wong, saya memang bukan profesional di situ kok. Yang penting harus dimulai.

Kalau nunggu lembaga yang ahli di bidang pengorganisasian atau advokasi, atau campaigner yang bisa nulis bagus, atau ahli IT yang bisa SeO, sebagai korban sudah lebih menunggu. Maka saya menolak untuk menunggu dan membusuk dalam prosesnya.
Tapi saya tidak akan na’if dan konyol. Kalau dalam proses ini ada yang mau mbantu menyempurnakan, atau di luar sana sedang berjalan inisiatif yang lebih manjur untuk tujuan menangani bencana dan memperjuangkan nasib korban, dengan senang hati saya akan bergabung.

Tetapi sementara itu belum muncul, ini beberapa inisiatif yang sudah dilakukan:
- www.korbanlapindo.net : Ada website portal informasi tentang bencana dan korban Lapindo
- www.korbanlapindo.blogspot.com : Blog yang mencoba mendokumentasikan perspektif korban
- http://www.facebook.com/group.php?gid=26083340518 : Grup di facebook tempat berbagi info semua orang yang peduli masalah Lapindo
- http://groups.yahoo.com/group/gebraklapindo/ Grup di yahoo
- http://groups.google.co.id/group/friend-of-lapindo-victims Grup di google

Mengakhiri postingan ini, sy cuman dengan rendah hati menyeru, siapapun anda yang peduli terhadap penanganan bencana dan nasib korban lapindo, ayo bergabung dengan gerakan ini. Catatkan email dan kontak anda di situs-situs di atas. Kunjungi dan manfaatkan situs-situs ini untuk mendapatkan informasi tentang masalah Lumpur Lapindo dan korban, serta berbagai informasi atau inisiatif untuk membantu korban, dan bantu sebarkan kepada khalayak.

Bakrie adalah raksasa, maka ayo dikeroyok rame-rame. Bukan untuk membunuh atau menghancurkan, tapi memaksa mereka bertanggungjawab kepada bangsa Indonesia dengan menyelesaikan masalah lumpur Lapindo dan memberi kedilan dan keadaban kepada korban.

sumber foto : antara

Read More ..

Minggu, 15 Juni 2008

Ayo keroyok Bakrie rame-rame (bag - 1)


Saya sempat marah, kecewa, muak dan bahkan mutung karena merasa bicara dengan tembok ketika coba teriak-teriak tentang masalah Lapindo. Berbagai seruan, ‘gugatan’, bahkan fait accompli, ternyata paling tidak menurut saya tidak mampu membuat orang berbondong-bondong untuk membantu korban.

Pun momentum dua tahun peringatan semburan Lumpur, malah membuat saya semakin muak kehilangan harapan. Berita tentang Lapindo memang sama sekali tidak lenyap dari pemberitaan media, meskipun bersaing dengan berbagai isu panas lainnya. Tetapi muatan yang muncul malah membuat saya semakin sesak. Seolah kita tengah mengingat satu peristiwa, yang tuntas saat itu juga dan tidak berlanjut.


Momen dua tahun ini seolah menjadi semacam peringatan ulang tahun. Bahwa dua tahun lalu Lumpur mulai menyembur di Sidoarjo. Sama dengan kita memperingati, 100 tahun lalu Budi Utomo didirikan, atau 80 tahun lalu, sumpah pemuda dikumandangkan, atau 10 tahun lalu generasi saya berdemo di gedung DPR (asli kaget bener waktu Suharto bisa turun dan g ada pertumpahan darah), dan menandai reformasi.

Saya jadi bisa merasakan dengan benar bagaimana merasa terhinanya keluarga para aktivis yang hilang atau yang dibunuh. Peringatan 10 tahun kehilangan itu bukan berarti bahwa 10 tahun yang lalu mereka hilang, namun tidak lama sudah ketemu keluarga lagi. Padahal, mereka sampai sekarang masih hilang dan tidak jelas keberadaanya.

Kalau untuk keluarga korban tragedi trisakti dan semanggi, peringatan ini berarti bahwa 10 tahun kemudian siapa yang menembaki dan membunuh anak-anak mereka sampai sekarang tidak jelas. Jadi peringatan 10 tahun semacam itu adalah semacam kesaksian, bahwa Negara ini memang goblok karena tidak mampu melindungi mereka, dan anak bangsa yang lain toh juga cuek.

Peringatan 2 tahun semburan Lumpur Lapindo bukannya memperingati awal keluarnya semburan Lumpur Lapindo. Peringatan dua tahun ini mestinya adalah penegasan, betapa Negara ini memang dibawah ketiak Keluarga Bakrie, dan komponen bangsa yang lain, diakui atau tidak, gagal memperjuangkan ke-Indonesiaan.

Sebab kalau saya tidak salah memahami, inti Pancasila adalah Gotong Royong, demi mencapai tujuan kehidupan berbangsa, yang salah satunya adalah, kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka bantah saya, sanggah bahwa Keluarga Bakrie saat ini tidak tengah menginjak-injak kemanusiaan dan keadilan bangsa Indonesia.

Yah, bangsa Indonesia yang kebetulan diwakili oleh rakyat Sidoarjo. Yah, korban Lumpur itu adalah rakyat yang kebetulan jumlanya ratusan ribu (moga-moga penyebutan korban dengan angka ini tidak jadi klise, soalnya orang yang ratusan ribu ini kalau saja mau bergandengan tangan, panjangnya akan menyamai keseluruhan panjangnya di jalanan di Jakarta).

Dan kalau ini bisa terjadi di Sidoarjo, maka dengan mudah ini akan terjadi di tempat lain dan bagian lain dari bangsa Indonesia. Atau mungkin kalimat didepan bahkan perlu dipertajam, kalau Sidoarjo dan Jawa Timur saja bisa begitu diacak-acak oleh kedigdayaan politik dan ekonomi Keluarga Bakrie, apa harapan bagi daerah lain dengan ke-Indonesiaan semacam ini.

Namun saya merasa kemudian bahwa Bakrie sudah memenangkan pertempuran di semua lini. Pemerintah jelas dikangkangi. DPR (halah, hari gini… msh percaya sama DPR). Penegak hukum memble (jangankan lawan Bakrie, lawan FPI aja mbulet…). Media, beberapa masih sayup-sayup sampai, meskipun sebagian besar gak beda dg pelacur.

Terus apalagi yang bisa dilakukan? Tidak ada, ini semua hanya omong kosong, Bakrie tetap akan menjadi pemenang dan yang tertawa paling akhir. Sedangkan puluhan ribu saudara, teman, tetangga saya korban lapindo banyak yang sudah mati, menjadi gila, gelandangan, terpaksa jadi pengemis, bahkan melacur, anak2 tidak bisa sekolah, bahkan terancam cacat karena harus menghirup gas tiap hari.

Mungkin inilah kenyataan. Satu paket yang harus saya terima karena masih mau ngurus KTP dan mengaku diri bangsa Indonesia. Saya harus menerima kenyataan bahwa bangsa yang sangat kaya akan nilai-nilai budaya yang luhur, ramah, religius, komunal, ini ternyata juga susah mengingat, gampang dikibulin, dan bisa sangat cuek dan abai.

Kalau sebelumnya saya cuma membaca kesimpulan ini dari artikel di koran, sekarang saya merasakan ini secara langsung, sebagai sebuah pengalaman yang sangat pahit. Pengalaman sebagai korban dari bencana Lumpur panas yang disebabkan oleh perusahaan Keluarga Bakrie yang bernama PT Lapindo. (bersambung ke bagian 2)

Read More ..

Selasa, 10 Juni 2008

DESAKU yang hilang…

Bagi pemerintah dan Lapindo, daerah yang tenggelam oleh lumpur mungkin hanya dianggap sekedar sebuah lokasi geografis. Tidak ada keterkaitan, tidak ada emosi. Tetapi bagi korban, wilayah yang tenggelam tersebut adalah tempat tinggal, tautan dengan masa lalu, dan hamparan masa depan. Sebuah desa.



DESAKU yang hilang…

Berkesempatan nulis di blog, mbales ngecek blog dan situs kawan2 pendukung korban lapindo yang sudah berkunjung, membawa pengelenaan dunia maya-ku nyasar ke tempat2 yang tidak terduga (bukan ke situs porno lho ya, *iyak*, yo mesti ae, lek mrono soale gak nyasar, hehehe). Salah satunya ketemu situs2 yang memuat lagu2 yang lama gak terdengar.

Jangan Asem misalnya, salah satu grup rock dari Unitomo yang terkenal di Surabaya pertengahan 90-an. Lagu2nya menurutku sangat berbobot, melodi yang ringan, syair yang kental kritik sosial, yang serelevan waktu itu maupun sekarang. Lagu macam ogok-ogok thok, atau reggae garuda, atau jancuk blues, dinyanyikan dengan suara lantang dan logat Surabaya yang sangat medok, tapi akrab di telinga.

Tapi salah satu yang paling aku suka karena nendang, cerdas dan, nggilani bin kemproh (oh ya ma’af, nggilani=menjijikkan, kemproh=jorok) adalah yang judulnya kentut sosial, sangat khas Suroboyoan. Syairnya begini :

”Tahu bedanya pantat kita dengan kepala pejabat?”

”Pantat kita belah tengah, kepala pejabat belah pinggir”

”Tahu persamaan pantat kita dengan kepala pejabat?”

”Pantat kita dan kepala mereka sama-sama isinya, TAEKKK!”

Halah, kok jadi cerita tentang Jangan Asem dan hal yang semua orang sudah tahu. Semua yah nyadar, walau nggak berani ngomong, apalagi nyanyi, selugas grup band Jangan Asem, bahwa dalam ngurusin masalah Lapindo, kepala pejabat kita itu isinya, ya itu tadi, penuh kotoran.

===

Eniwei, maksud postingan ini sebenarnya cerita tentang lagu anak2 yang judulnya DESAKU :

http://www.esnips.com/doc/04749ec3-0892-4542-8e19-4bdd2810c2bb/Desaku

Tiba-tiba aja aku nemu lagu yang dulu menjadi favoritku sewaktu masih sekolah di SMPN 1 Sidoarjo, karena membuat aku yang dari desa di Tanggulangin, jadi merasa punya sedikit kelebihan ketika bergaul sama teman2 sekolah yang rata2 anak kota (pasti ada yg nyeletuk, Sidoarjo kok kota, hehehe).

Merasa lebih karena, lagu tersebut menceritakan betapa bahagianya hidup di desa, yang permai, tempat saudara dan handai tolan hidup, dibanding di kota, yang sumpek dan egois. Tak akan mudah kulupakan, dan berpisah darinya. Bahkan sekalipun, lama setelah nggak tinggal di desa aku pernah tinggal dibelahan lain dari bumi ini, ingatan akan desa seperti yang digambarkan oleh lagu DESAKU itu seringkali menyeruak. Lha asline memang wong ndeso, mau gimana lagi.

Tadi malam, ketika tanpa sengaja ketemu lagi lagu itu, tiba-tiba aku terhenyak, tapi dalam nuansa yang sama sekali berbeda.

Desaku yang tak mudah kulupakan itu, (dengan amat sangat) terpaksa harus kuhapus dari ingatan. Upaya yang sangat berat, mengingat apa penyebabnya, dan bagaimana pihak yang bertanggungjawab soal terhapusnya desaku dari peta di muka bumi ini, melenggang dengan santai, tetap menjalankan jabatan menteri koordinasinya dan mengumpulkan pundi2nya sebagai orang terkaya di negeri ini, melalui bisnisnya yang terus menggurita.

Dan mendengarkan kembali DESAKU mementahkan segala upaya selama hampir 2 tahun ini untuk melupakan memori indah akan desaku, mencoba menerima apa yang terjadi. Keindahan yang tidak mudah dijelaskan kepada orang lain, khususnya yang tidak pernah tinggal di desa. Rasa akrab begitu masuk ke lingkungan desa. Semua orang yang dengan riang menengok dan menyapa kita, sambil tiba-tiba menghentikan kegiatannya, apapun itu, dan seberapa lamapun kita gak pulang. Kapan teko mas?

Tempat-tempat yang spesial, paling tidak bagiku. Pohon mangga yang sama tempat dulu aku pernah nyolong dan diteriakin wak Kaji, pos kamling yang sama tempat dulu pertama belajar nikmati enaknya nongkrong sambil main gitar dengan teman, rumah si Arif, anaknya Pak RW yang kamar depannya jadi saksi perkenalan kami dengan dunia orang dewasa (nonton film ’aneh’ karena gak ada biru-birunya kok disebut BF, ngerokok gudang garam, yang di beberapa negara dikira lagi nyedot canabis, saking baunya, hehehe).

Hal-hal sepele itu, tempat-tempat yang tidak penting itu. Tapi bukankah hal-hal seperti ini yang selalu efektif mengingatkan kita, bahwa toh kita ini manusia biasa juga, seberapapun diri merasa hebat dengan segala pencapaian pribadi. Bahwa ternyata kita sama saja dengan orang2 lain, kawan2 sebaya, yang pernah berbagi kekonyolan2 khas anak muda, dan yang mungkin ketika dewasa, tidak seberuntung kita.

Tapi mereka adalah kawan2ku, saudara2ku, yang membuatku selalu bisa mengaca, dan melihat diri sendiri dengan jujur. Sebuah akar, dimana setinggi apapun pohon itu akan tumbuh, akan bisa dilacak darimana dia tumbuh. Ahli sosiologi mungkin menyebutnya akar budaya kita, tapi yang jelas aku merasa aku adalah bagian dari mereka. Dan tidak ada sedikitpun aku keberatan dengan hal itu, alih-alih aku malah bangga.

Kalau saja masa kecilku dihabiskan di kota, tinggal di perumahan, apalagi apartemen, yang minim interaksi dengan sebaya, mungkin memori akan desa tidak sekuat yang kurasakan sekarang. Dan mungkin aku akan sama dengan sebagian kawan2 korban warga Perumahan Tanggulangin Sejahtera, tidak terlalu memandang penting arti hilangnya sebuah tempat tinggal dan DESAKU, dan ’menyerah’. Sekalipun sebagian dari mereka, beberapa adalah dosen dan cendekia yang tahu benar arti hilangnya hak dan penggantian yang tidak adil.

Dan sekarang, semua itu telah lenyap dari muka bumi, tak berbekas, kecuali hamparan danau lumpur membentang sampai batas cakrawala. Bagaimana anda akan menghitung kerugian akan kehilangan yang benar2 total ini? Kalau hancurnya aset tanah, rumah atau bangunan, atau bahkan pohon2, mungkin masih bisa dihitung. Tetapi bagaimana dengan hilangnya kenangan2, sejarah dan cerita2 orang tua, seberapa anda akan menilainya? Mungkin tak terkira.

Tapi lagu DESAKU sekali lagi menyentakkan kesadaran tadi, sekaligus mengingatkan bahwa apa yang kami lakukan sekarang, untuk ’melawan’ pemerintah dan lapindo, memang berdasarkan pada sesuatu, dan itu berharga. Kalau tidak demi masa lalu, maka kami melakukan ini demi masa depan. Kalau tidak untuk contoh bagi generasi nanti negeri ini, paling tidak aku tidak akan malu dengan anak cucu sendiri.

Aku sesak membayangkan, 10 tahun lagi, ketika anakku, atau 30 tahun lagi, ketika cucuku, menanyakan, dan aku tidak bisa menjawab, tentang hal berikut :

”Yah/Kek, dulu kecilnya dimana?”

Maka aku akan menjawab, ”Oh di Sidoarjo le, di tempat yang sekarang terendam lumpur Lapindo”, sambil menuding ketengah danau lumpur” disana itu, yang kelihatan bekas cungkup masjidnya”

”Yah/Kek,” lanjut mereka, ”kabarnya, tenggelamnya karena ulah perusahaan yang serakah, bekerjasama dengan pemerintah yang korup dan tidak peduli sama rakyatnya, ya?” Aku terpaksa mengangguk, mengiyakan dan takjub akan kelugasan anak2 jaman nanti.

Lalu anak/cucuku mengejar dengan pertanyaan skak mat, ”Lho, kalau rumah dan desa Ayah/Kakek ditenggelamkan, terus apa yang Ayah/Kakek lakukan?”

Dan aku memilih untuk bisa menjawab dengan kepala tegak ketika pertanyaat itu muncul. Maka, paling tidak, apa yang kami lakukan sekarang, akan bisa mempersiapkanku saat pertanyaan seperti itu keluar dari anak/cucuku nanti.

Dan lirik lagu DESAKU terngiang lagi:

...tak mudah kulupakan, tak mudah bercerai...

...selalu kurindukan...

...desaku yang hilang....lanjutku lirih.

Tidak lagi diiringi kepedihan, tapi dengan dua tangan mengepal erat, dan geraham mangatup rapat menandakan tekad yang kuat.

Read More ..

Seruan Terakhir Korban Lapindo dari Pengungsian Pasar Baru Porong

Setelah bertahan hampir 2 tahun dari berbagai macam tekanan Lapindo, korban akhirnya benar-benar sampai pada batas akhir ketahanannya dalam situasi yang begitu menyedihkan di Pengungsian pasar baru Porong


Seruan Terakhir Korban Lapindo dari Pengungsian Pasar Baru Porong

Porong, 25/4/2008.

Tadi malam, di pengungsian pasar baru Porong, terjadi peristiwa yang artinya sangat besar dalam perkembangan bencana Lapindo yang kini sudah berlangsung hampir 2 tahun. Setelah serangkaian manuver dan isu yang dengan sangat cantik digulirkan oleh Lapindo dan pemerintah, korban lumpur terakhir yang masih bertahan yang tergabung dalam akhirnya berada dalam posisi yang sangat terjepit.

Hanya tersisa satu pilihan bagi warga bangsa yang masih punya hati nurani dan kepedulian akan masa depan negeri ini, serta mereka yang selama ini menyatakan peduli akan nasib korban Lapindo. Beramai-ramai datang ke pasar baru Porong, untuk meyakinkan korban bahwa mereka tidak sendirian, mensinergikan gerakan dengan korban Lapindo serta segera membantu stamina dan penghidupan korban yang kini benar-benar diabaikan pemerintah dan Lapindo.

Bencana lumpur Lapindo sudah selesai

Begitulah yang akan segera dikabarkan dan dikampanyekan oleh Lapindo dan Bakrie Group begitu pengungsi korban Lapindo yang masih bertahan di Pasar baru Porong benar-benar menyerah. Sebab saat ini satu-satunya yang tersisa untuk membuktikan bahwa bencana ini jauh dari selesai dan korban masih belum tertangani dengan baik adalah keberadaan pengungsi di Pasar baru Porong.

Kami memandang bahwa selama ini, segala macam upaya dilakukan oleh Lapindo untuk mengopinikan bahwa: (1) bencana Lapindo adalah fenomena alam yang dipicu oleh kejadian alam pula; (2) meskipun tidak ada status hukum apapun yang menyatakan bahwa mereka bersalah, Lapindo tetap berbaik hati dan peduli dengan penanganan dampak sekaligus nasib korban.

Untuk mewujudkan opini diatas, kami menganggap bahwa mereka melakukan berbagai upaya. Untuk yang pertama, Lapindo ‘menyewa’ ahli-ahli geologi yang, dengan menyisihkan segala kaidah keilmuan, melainkan oleh gempa bumi di Yogya. Padahal jauh lebih banyak ahli yang lebih otoritatif dan lebih berpengalaman dan diakui yang menyatakan bahwa semburan ini diakibatkan oleh kesalahan prosedur pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo.

Pendapat ini kemudian gencar dipakai Lapindo untuk membangun opini publik, mulai dari forum diskusi yang diselenggarakan pemerintah, sidang pengadilan, bahkan sampai dengar pendapat dengan DPR (secara sepihak tanpa menyertakan ahli yang berpendapat berbeda). Hasilnya mudah diduga, sikap pemerintah (eksekutif), keputusan pengadilan (yudisial) dan posisi DPR (legislatif), seolah di-orkestra-i seirama menganggap bahwa Lapindo tidak bersalah dalam bencana lumpur panas ini.

Seolah itu belum cukup, Minarak Lapindo Jaya (perusahaan yang didirikan April 2007 oleh Bakrie Group untuk menangani masalah Lapindo) kemudian membayar iklan di berbagai media cetak nasional untuk mendukung opini tersebut. Selain menyatakan bahwa semburan lumpur ini disebabkan oleh bencana alam, iklan tersebut juga mempertegas poin kedua berikut.

Bahwa meskipun tidak menyebabkan semburan lumpur, Lapindo ternyata masih bertanggungjawab menangani dampak bencana ini, dan manangani nasib korban lapindo. Hal ini mereka buktikan dengan menyediakan berbagai kebutuhan pengungsi, yang mestinya merupakan kewajiban pemerintah. Padahal penyediaan fasilitas mulai dari makanan, fasilitas kesehatan, air bersih, pendidikan bagi anak2 dan sebagainya tersebut hanya pada beberapa bulan awal .

Setelah beberapa waktu, fasilitas-fasilitas tersebut di hentikan oleh Lapindo, meskipun dalam berbagai kesempatan, mereka selalu menyebutkan seolah fasilitas-fasilitas tersebut masih disediakan. Terakhir, satu-satunya fasilitas pengungsi yang disediakan oleh Lapindo adalah jatah makan, setelah air bersih dihentikan sejak November 2007. Akibatnya pengungsi harus mencari sendiri segala kebutuhan dasar tersebut. Hingga awal bulan ini, Lapindo membuat surat kepada pemerintah bahwa mereka akan menghentikan jatah makan bagi pengungsi sejak tanggal 1 mei 2008.

Poin berikut untuk mendukung opini kedua ini adalah bahwa Lapindo sudah membayar ganti rugi kepada korban, dan korban sudah menerima skema yang ditetapkan di dalam Perpres 14/2007. Skema yang dimaksud adalah bahwa untuk menangani dampak sosial bencana lumpur panas ini, Lapindo harus membeli tanah dan bangunan milik korban. Kerugian warga direduksi menjadi hanya sekedar kehilangan asset, sedangkan kerugian lain sama sekali tidak dipertimbangkan.

Sistem pembayarannya adalah, pertama warga melengkapi surat2 bukti kepemilikan tanah dan bangunan. Padahal banyak dari korban tidak memegang bukti ini, baik karena memang tidak ada karena selama ini di desa bukti kepemilikan dianggap tidak terlalu penting atau tidak sempat diselamatkan karena sibuk menyelematkan diri sewaktu lumpur menenggelamkan desa mereka.

Setelah bukti lengkap, warga akan menyerahkan ke Lapindo, sambil menerima uang kontrak untuk 2 tahun. Dengan menerima uang kontrak ini, warga sudah melepas status sebagai pengungsi dan tidak diurusi lagi oleh Lapindo. Sebuah jebakan yang membuat korban terlucuti posisi tawarnya, karena pada dasarnya warga bukan lagi korban, tetapi mitra jual beli Lapindo.

Setelah berkas diverifikasi, korban menanda tangani Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) yang intinya menyerahkan kepemilikan tanah dan menerima pembayaran 20 persen. Sedangkan sisa pembayaran 80 persen dilunasi selambat-lambatnya satu bulan sebelum dua tahun masa kontrak habis. Poin selambat-lambatnya ini kemudian diterjemahkan secara sepihak oleh Lapindo (dan didiamkan oleh si pembuat Perpres) bahwa mereka akan mulai melunasi pembayara 21 bulan kemudian. Artinya, selambat-lambatnya dipelintir oleh Lapindo menjadi secepat-cepatnya.

Jadi terang bahwa pengopinian bahwa Lapindo membayar ganti rugi kepada korban merupakan upaya yang sistematis untuk menyesatkan persepsi publik, sebab yang terjadi bukan ganti rugi, tetapi jual beli (untuk jelasnya, lihat blog www.korbanlapindo.blogpot.com atau www.korbanlapindo.net). Sebuah jual beli yang secara hukum sangat aneh, manipulatif dan tidak memberi kepastian hukum akan nasib dan masa depan korban.

Aneh sebab, dalam skema pembelian apapun, bukti kepemilikan diserahkan setelah pembeli melunasi harga transaksi. Manipulatif karena, tidak ada posisi yang seimbang dalam transaksi karena warga terpojokkan dahulu dalam situasi dimana mereka seolah harus mengambil pilihan ambil atau tidak dapat apa-apa. Tidak memberi kepastian hukum karena adanya pasal karet mengenai ketentuan pelunasan pembayaran yang membuat lapindo bisa berkelit dari kewajiban membayar tanpa sanksi apapun.

Pasal yang tercantum di dalam PIJB antara Lapindo dan Korban tersebut pada dasarnya menyebutkan bulan kapan Lapindo harus melunasi pembayaran (yaitu 21 bulan dari ditandatanginanya PIJB seperti disebutkan diatas). Dari bulan yang disebutkan, Lapindo diberi waktu 1 bulan untuk melunasi pembayaran. Jika dalam masa 1 bulan tenggang tersebut Lapindo tetap belum melunasi, maka korban boleh mengambil kembali bukti kepemilikan asset mereka.

Tidak ada penjelasan lanjutan setelah itu, kecuali bahwa Lapindo masih tetap akan bertanggungjawab melunasi pembayaran. Tidak jelas apa konsekuensi setelah warga menarik berkas mereka. Tidak jelas kapan dan bagaimana Lapindo akan melunasi sisa pembayaran. Tidak ada mekanisme dis-insentif (kecuali kalau sumpahnya Cak Nun dianggap sebagai mekanisme dis-insentif), misalnya dalam bentuk denda setiap bulan penundaan, sehingga akan mendorong Lapindo untuk membayar. Intinya tidak jelas apakah Lapindo akan membayar sisa pembayaran.

Poin ketidakjelasan penyelesaian pembayaran itulah yang kemudian yang semakin menguatkan kami untuk tetap bertahan di pengungsian. Bertahan hidup dalam situasi yang sangat mengenaskan, diintimidasi, ditakut-takuti dan diancam, bahkan oleh pemerintah kami sendiri. Karena skema yang ditetapkan pemerintah tersebut tidak hanya tidak adil (apalagi kata Wapres menguntungkan), namun malah membuat masa depan kami, korban yang sudah sengsara ini, akan semakin terpuruk.

***

Kedua poin tersebut secara sistematis diopinikan oleh Lapindo dan diterima oleh sebagian besar publik. Akibatnya tidak ada lembaga atau orang yang berbondong-bondong membantu pengungsi korban Lapindo, seperti halnya korban bencana yang lain, sebab seolah-olah Lapindo sudah menangani korban. Beberapa NGO asing yang kami mintai bantuan bahkan menyatakan bahwa justru pemerintah yang menolak tawaran mereka untuk membantu korban. Pemerintah dimana Koordinator kementriannya yang seharusnya bertanggungjawab menangani korban, dijabat oleh orang yang sama dengan pemilik grup usaha yang menyebabkan bencana ini.

Ketikadakjelasan nasib korban

Tawaran tersebut dengan sangat terpaksa kemudian diterima oleh sebagian besar korban. Mereka tidak lagi punya energi untuk bertahan setelah berbulan-bulan menunggu kejelasan nasib dan status mereka. Situasi yang disebabkan oleh ketidak jelasan negara tentang bagaimana kejelasan hukum status bencana ini dan bagaimana kejelasan nasib dan segala hak sosial ekonomi dan budaya dari korban yang telah terenggut dengan paksa begitu saja.

Dari saat awal kejadian semburan lumpur panas di Desa Renokenongo pada tanggal 29 Mei 2006, korban sudah disuguhi ketidaktegasan ini. Pada hari-hari pertama, tidak jelas apa yang menyebabkan semburan lumpur panas ini. Yang diketahui oleh warga dan diberitakan di media adalah semburan ini terjadi di areal pemboran gas Lapindo, kegiatan eksplorasi yang sebagian besar warga yang tinggal di dekat situ tidak mengetahuinya.

Kemudian, dari berbagai keterangan muncullah pemberitaan di media massa bahwa memang operasi Lapindo-lah penyebab semburan ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh proses penyidikan yang mulai dilakukan oleh Polda Jatim, yang menemukan adanya indikasi kesalahan prosedur yaitu tidak dipasangnya chasing di sumur Banjar Panji 1. Kesimpulan tim investigasi yang dibentuk oleh pemerintah dan pendapat sejumlah anggota DPR yang datang ke lokasi juga menyimpulkan hal yang sama.

Tanpa kejelasan status hukum, opini publik saat itu terbangun dengan sangat kuat bahwa memang Lapindo yang menyebabkan bencana ini, dan Lapindo tidak menolak. Kemudian muncul keterangan dan pernyataan dari pejabat pemerintah, mulai pusat sampai daerah, yang mengunjungi lokasi, bahwa Lapindo harus bertanggungjawab atas berbagai dampak yang diakibatkan oleh semburan lumpur ini.

Bahkan pada bulan Juni 2006, Wapres didepan korban dan Nirwan Bakrie (yang datang bersama wapres mewakili Grup Bakrie) menegaskan bahwa Bakrie tidak hanya akan memberi ganti rugi kepada korban, namun ganti untung. Pernyataan (yang oleh korban dengan segala baik sangka kepada pemimpin negara diterjemahkan sebagai perintah) yang juga dibenarkan oleh Nirwan Bakrie.

Senada dengan Wapres, Presiden setelah menerima laporan tim investigasi semburan lumpur, juga menyatakan hal yang sama, kali ini didepan menko kesra dan pemilik Grup Bakrie (yang entah kenapa, paling tidak sebagai bentuk tanggungjawabnya selaku menko kesra, tidak pernah datang ke lokasi bencana, dan tidak mendapat teguran akan hal ini)

Maka lengkaplah sudah, persepsi publik maupun keyakinan korban bahwa Lapindo-lah yang menyebabkan bencan ini, dan Lapindo akan bertanggungjawab. Bagi korban, meskipun tanpa perlu status hukum, ketika semua sudah menyatakan hal itu, maka nasibnya akan segera jelas. Penghidupannya yang porak poranda segera akan bisa ditata lagi sehingga bisa segera hidup dengan normal.

Tetapi kemudian waktu berjalan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan pun beranjak menjadi tahun. Tetapi tidak ada kejelasan tentang bagaimana penyelesaian nasib korban. Segala proses perundingan dengan Lapindo dan pemerintah tidak membuahkan hasil. Kesepakatan ditanda tangani, namun ketika isi kesepakatan ini tidak terpenuhi, tidak ada penjelasan apapun.

Hal yang sama juga terjadi dengan sikap dan keterangan pemerintah, termasuk pemerintah pusat. Ketika Wapres dan Presiden beberapa kali meminta atau memerintahkan sesuatu, ketika itu tidak dilakukan, atau tenggat waktunya terlewati dan permintaan atau perintah tadi tidak terlaksana, tidak ada penjelasan kenapa itu tidak terlaksana baik dari si pemberi maupun penerima perintah. Tidak ada permintaan ma’af atau pejabat yang dimarahi ketika perintah presiden/wapres tidak terlaksana.

Pada saat yang sama, suasana yang dihadapi warga semakin sulit. Uang simpanan sudah mulai habis karena selama terjadinya bencana ini sebagian besar dari kami yang sawah dan pabriknya tenggelam tidak lagi bisa bekerja. Sedangkan kebutuhan hidup, belanja sehari-hari, biaya anak sekolah, cicilan motor dan sebagainya, tidak bisa lagi ditunda.

Kondisi hidup di pengungsian yang serba terbatas juga membuat kami lebih menderita. Anak-anak kami tidak bisa belajar dan bermain dengan tenang. Suasana hidup berkeluarga tidak lagi bisa kami jalankan dengan nyaman, karena harus hidup di pengungsian yang berjubel beberapa keluarga dalam los di pasar yang hanya berpenyekat kain lusuh. Bagaimana kami bisa berhubungan tenang dengan suami/istri dalam kondisi semacam ini.

Sementara skema yang ditawarkan oleh pemerintah juga tidak kunjung jelas. Berbagai jenis wacana datang dan pergi tanpa penjelasan. Relokasi, ganti rugi, cash and carry, dan berbagai macam. Semuanya hanya sebatas di perundingan, sebatas wacana di media. Tidak ada ketegasan dari pemerintah, dan Lapindo selalu mengulur-ulur tawaran. Ketika presiden

Seolah-olah begini. Ada orang yang kelaparan, dan dia datang minta sepiring nasi. Kemudian dijawab, oke saya beri makan. Tetapi belum sempat makanan itu diberikan, muncul pendapat lain. Jangan diberi makan, diberi kail saja, biar bisa mencari ikan. Tidak jelas jadi atau tidak diberi ikan, ada yang usul lagi. Diberi cangkul saja, biar bisa menanam padi. Begitu seterusnya, padahal si orang yang kelaparan ini tetap saja kelaparan, dan tidak diberi apa-apa.

Sampai kemudian ketika sudah hari ke lima, dan si orang yang kelaparan tadi sudah hamper mati, baru diputuskan, ya sudah, diberi makan saja. Maka permintaan si orang yang kelaparan tadi pun dipenuhi. Padahal, agar orang tersebut bisa selamat, apa yang diperlukan sebenarnya setelah hari kelima bukan lagi makanan, tetapi infus. Karena setelah 10 hari tidak makan apa-apa, ketika diberi makan sepiring nasi, seperti yang awalnya diminta, maka dia akan meninggal.

Kira-kira seperti itu yang terjadi dengan korban Lapindo. Ketidak jelasan penanganan ini membuat kami tidak lagi percaya dengan pemerintah kami sendiri. Bukan karena sebab lain, tetapi karena ketidak konsistenan yang mereka tunjukkan sendiri. Dan kami samakin merasa nasib kami semakin tidak jelas. Sampai kemudian kami diajari oleh situasi, agar permintaan kita didengar dan dipenuhi, ya diminta dengan paksa.

Kami pun harus berdemontrasi untuk menuntut hak kami. DI lokasi, di kabupaten, di provinsi bahkan ke istana Negara. Pemerintah tidak bisa ditemui atau disurati baik-baik, harus didatangi ramai-ramai agar aspirasi kami diterima. Sekali lagi, kesimpulan ini kami dapat karena sikap pemerintah sendiri, yang tidak jelas dan mengambangkan nasib kami, sedangkan disisi lain mereka tidak bisa menekan Lapindo, seperti yang ditegaskan pemerintah sendiri di awal, agar bertanggungjawab dan menangani nasib korban.

Maka setelah hampir 1 tahun, setelah berbagai upaya demontrasi, setelah terjadi berbagai konflik antara korban sendiri dan kondisi yang tidak tertahankan lagi di pengungsian, baru pemerintah memberi kepastian hukum kepada kami. Keluarlah kemudian Peraturan Presiden No.14/2007, yang awalnya kami harapkan akan memberi penyelesaian yang adil bagi nasib kami kedepan. Tetapi seperti dijelaskan di depan, perpres ini ternyata berisi berbagai kejanggalan dan membawa berbagai masalah ke depan bagi kami.

Kenapa Kami Bertahan

Korban bukannya tidak tahu akan kejanggalan dan ‘jebakan’ hukum yang terkandung di dalam Perpres ini. Tetapi seperti dijelaskan diatas setelah hampir satu tahun, stamina kami sudah habis. Ketika penghidupan kami porak poranda, hampir tidak ada bantuan yang diberikan kepada kami seperti halnya korban bencana yang lain. Ketika nasib kami diombang-ambingkan oleh Lapindo dan pemerintah, sedikit sekali aktivis atau LSM yang secara konsisten mendampingi dan membantu kami.

Kami merasa bahwa sebagian besar warga bangsa ini memang acuh lagi dengan nasib kami. Sementara pemerintah yang seharusnya melindungi kami malah bersikap dan mengambil kebijakan yang seolah-olah justru menguntungkan Lapindo. Pada saat yang sama, beberapa korban dan tokohnya justru mendorong kami untuk segera menerima skema perpres, karena ini pilihan yang terbaik. Kalau tidak, kami tidak akan dapat apa-apa.

Maka sebagian besar dari korban pun akhirnya menyerah. Mereka menerima skema pemerintah sepahit apapun masa depan yang akan dihadapinya. Meskipun kami akan tercerai berai sebagai masyarakat, meskipun tidak ada kejelasan mengenai status pembayaran. Bahkan sebagian besar korban sebenarnya tidak mengetahui mengenai hal tersebut, karena sebagian besar dari kami adalah awam hukum, dan dalam berbagai proses tersebut tidak ada pendampingan hukum yang bisa memastikan kami terhindar dari jebakan-jebakan hukum semacam itu.

Korban yang bertahan semakin terlemahkan semangatnya dengan berbagai perkembangan. Bahkan setelah perpres turun, Lapindo dan BPLS yang baru dibentuk tidak segera menjalankannya. Istana Wapres member instruksi percepatan penyelesaian Perpres, namun tidak berdampak apa-apa. Korban hanya bisa mengelus dada.

Berbulan-bulan setelahnya, Presiden sampai harus ber’kantor’ di markas AL di Juanda (bukan di lokasi semburan) setelah ditangisi dan dijemput ke rumahnya oleh kawan-kawan korban yang menerima skema Perpres, untuk memastikan bahwa Lapindo menjalankan skema tersebut. Setelah beberapa hari berkantor, presiden member deadline 10 minggu agar pembayaran uang muka dibayarkan.

Setelah lewat 10 minggu, dan target tersebut tidak terpenuhi, lagi-lagi tidak ada reaksi apapun dari presiden (bahkan presiden masih sempat membuat album rekaman). Tidak ada pejabat yang ditegur atau memberi penjelasan atau meminta ma’af, kepada presiden apalagi kepada publik. Bathin kami, Ya Allah, ada apa dengan republik ini.

Pada saat yang sama, Lapindo mulai melakukan kampanye publik seperti yang dijelaskan di awal tulisan ini. Ada yang bilang, Lapindo mulai melakukan hal ini ketika mereka sudah melakukan kalkulasi dengan matang bahwa situasi sudah menguntungkan mereka. Bahwa setelah satu tahun lebih bencana ini berlangsung, dengan penanganan yang seadanya sekaligus perpres yang memihak mereka, ternyata tidak memicu reaksi yang berarti dari publik.

Pemerintah dan lembaga-lembaga Negara lainnya jelas mandul terhadap mereka. Tidak ada aksi solidaritas dan advokasi yang masif dari komponen civil society yang peduli akan nasib korban dan masa depan negeri ini. Tidak ada sorotan dunia internasional yang memadai terhadap bagaimana ketidakbecusan penanganan bencana ini.

Lebih penting lagi, sebagian besar korban sudah menyerah. Kecuali 3000-an (jumlah saat itu, pertengahan 2007) korban yang memilih bertahan di pengungsian pasar baru, tidak ada perlawanan dari korban. Pendeknya, situasi sudah terkendali, dan praktis menguntungkan mereka.

Karena itulah, pada masa ini, gencar dilakukan kampanye di media oleh Lapindo yang mengesankan bahwa bencana ini sudah selesai. Padahal semburan lumpur panas masih terjadi, dan semakin memburuk, dan dampak serta korbannya semakin meluas. Di pemberitaan media, bencana skala dunia ini juga tenggelam oleh hiruk-pikuk berita-berita lainnya. Kalau tidak ada tanggul jebol, atau demo yang menutup jalan raya Porong, masalah Lapindo tidak muncul lagi dipermukaan.

Tetapi kami masih bertahan. Walaupun di luar kami kerap menyuarakan kesadaran akan hak-hak sebagai warga Negara sebagai alasan kami bertahan, tetapi sebenarnya alasan yang lebih mendasar korban masih bertahan adalah sesederhana bahwa sebagian besar dari kami tidak akan bisa lagi hidup dengan layak dan bermartabat, mungkin selamanya. Bahkan bagi sebagian dari kami, bahkan sekedar untuk hidup-pun akan sulit kalau kami menerima skema Perpres (lihat blog www.korbanlapindo.blogspot.com untuk info lengkap tentang hal ini).

Kami berkeyakinan bahwa selama kami masih mempertahankan status sebagai pengungsi, maka pemerintah tetap mau tidak mau terpaksa harus memperhatikan kami. Dan kami tidak akan mau pindah dari pengungsian sebelum Lapindo mengabulkan tuntutan kami. Sikap yang didukung dan diperkuat sebagian kecil tokoh bangsa dan lembaga yang peduli dengan perjuangan kami.

Lapindo Bergeming, Korban Kian Pusing

Kamipun mencoba berbagai upaya yang kami bisa (dengan segala macam keterbatasan, baik logistic maupun pemahaman) untuk memperjuangkan nasib hak dan tuntutan kami. Kami berupaya melakukan semua cara yang mungkin, baik atas inisiatif sendiri maupun dengan fasilitasi dari pihak-pihak yang peduli terhadap masalah bencana Lapindo dan nasib korban.

Kamipun mengundang kepedulian tokoh-tokoh yang peduli dengan cara memberi mereka penghargaan yang kami sebut lumpur Award (anti tesis dari Bakrie Award). Tokoh-tokoh seperti Prof Syafi’I Ma’arif, Gus Sholah, Prof Frans Magnis Suseno, Mayjend Marinir (purn.) Suharto, Mohamad Noer (mantan gubernur Jatim) dan Rieke Dyah Pitaloka.

Harapannya setelah komitmen dan desakan dari tokoh-tokoh tersebut, muncul dua hal. Pertama strategi gerakan akan lebih kuat karena masukan dan saran dari mereka yang sarat pengalaman. Kedua, tokoh-tokoh sekaliber Gus Sholah atau Buya Ma’arif, atau Romo Magnis, tidak mungkin ketika menerima award dan menyatakan dukungan kepada kami hanya didasarkan pada basa-basi politik semata. Kami sangat haqqul yakin bahwa beliau-beliau itu mempunyai satu kata dan perbuatan, apa yang diucapkan itu pula yang akan dilakukan.

Maka dengan mendapat dukungan tokoh-tokoh tersebut, mereka dan basis massa-nya yang cukup luas akan bisa memperluas basis dukungan perjuangan kami. Sehingga desakan kepada pemerintah untuk memenuhi tuntutan kami akan lebih kuat. Langkah-langkah serupa kami lakukan pula terhadap berbagai komponen bangsa yang masih peduli. Kami berupaya membangun jaringan dengan kampus, NGO, anggota dewan, lembaga Negara yang relevan, tokoh-tokoh agama maupun masyarakat luas lainnya.

Hasilnya sebagian melakukan kegiatan yang nyata (Radio 68 H membangun radio komunitas untuk korban, Uplink memberi pendampingan kepada warga, Yayasan Airputih dan Satudunia membuatkan website, Yayasan TIFA melakukan riset potensi konflik, FH Unair memberikan kuliah hukum selama 6 minggu untuk korban, dan beberapa lainnya), dengan hasil dan ekspos yang cukup terbatas. Namun lebih banyak yang hasilnya sebatas pernyataan dukungan maupun berupa komitmen yang tidak (belum) jelas wujudnya.

Padahal salah satu kebutuhan mendesak setelah satu tahun setengah bertahan di pengungsian adalah bantuan yang bisa memperkuat stamina kami. Yang kami maksudkan dengan stamina adalah adanya dukungan kegiatan ekonomi yang menunjang kehidupan kami sehari-hari. Kami tidak bermaksud meminta sumbangan sembako atau materi. Tetapi tolong dibantu agar kami bisa memenuhi kebutuhan ekonomi kami yang sudah hilang karena sumber pencaharian kami tenggelam oleh lumpur.

Bagaimana caranya agar ada kegiatan ekonomi produktif yang bisa kami kerjakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagian dari kami masih kuat bekerja, dan cukup bermartabat untuk menjadi pengemis. Tetapi kami juga realistis bahwa perjuangan butuh kekuatan, dan omong kosong ngomong tuntutan ketika perut kami kosong. Kalau dalam bencana lainnya, ada berbagai kegiatan yang diarahkan untuk livelihood warga, kenapa tidak ada satupun yang seperti itu diarahkan kepada kami. Salah kaprah besar kalau menganggap Lapindo sudah menangani masalah ini.

Ketika masalah stamina inipun tidak kunjung jelas, kami tetap berupaya menarik perhatian kepada masalah Lapindo. Kami berupaya sebisa mungkin mendatangi berbagai undangan kawan2 maupun lembaga yang peduli untuk sekadar testimoni atau bentuk kegiatan lainnya yang mengundang korban lumpur Lapindo. Meski kadang dengan hasil yang tidak jelas dan kami harus kehilangan stamina yang sudah sangat mepet.

Untuk menarik perhatian internasional, kamipun mendatangi mendatangi berbagai lembaga internasional di bawah PBB di Jakarta. Hasilnya nol. Kami mendatangi forum UNFCCC di Bali akhir tahun 2007 untuk mengabarkan kepada dunia apa yang terjadi di negeri kami (meskipun dihalangi2 aparat dan pihak keamanan forum yang ternyata ketua panitia pengawasnya adalah Menko Kesra ini).

Kami juga berupaya menarik perhatian media dengan mengundang mereka untuk meliput masalah ini. Hasilnya liputan tentang masalah Lapindo keluar di majalah National Geographic bulan Januari dan cover story majalah TIME bulan Maret serta liputan dari beberapa media asing lainnya. Liputan majalah Tempo bulan Maret juga cukup kuat dalam menarik perhatian publik.

Ternyata berbagai upaya tersebut tidak kunjung membawa kami kepada tahapan yang lebih dekat kepada tuntutan kami. Lebih jauh lagi, berbagai dukungan yang disampaikan dan diberikan kepada kami tersebut tidak pernah terkapitalkan. Atau dengan kata lain, tidak ada yang bisa mengorkestrasikan berbagai komitmen dukungan tersebut menjadi pressure yang massif dan efektif, ataupun membantu memperkuat stamina kami.

Kami tidak tahu caranya (kami tidak ada yang punya kapasitas untuk itu), dan tidak ada lembaga yang membantu kami melakukan hal itu. Sederhanya, kami membayangkan andai saja setiap orang atau lembaga yang pernah menyatakan peduli dengan kami, menyumbang Rp10.000 saja, akan terkumpul dana yang cukup besar. Dana tersebut jangan berikan langsung kepada kami, tetapi salurkan melalui lembaga yang kompeten dalam bidang pengembangan ekonomi atau Usaha Kecil Menengah.

Dana tersebut akan diwujudkan dalam bentuk kegiatan usaha produktif, yang akan dikerjakan oleh pengungsi, atau dirupakan kredit mikro atau dana bergulir. Bahkan kalau pendekatannya benar, kamipun bersedia untuk menerima dana tersebut sebagai pinjaman modal usaha, dan mengembalikan dana tersebut ketika usaha ini berjalan. Dengan kegiatan usaha kecil ini, maka stamina kami akan terjamin, dan kami tidak akan tergantung kepada pemerintah atau Lapindo

Mungkin kami belum pernah menyampaikan hal ini secara terbuka kepada publik luas. Sebab kami berpikir bahwa mestinya kesadaran akan kebutuhan kami seperti itu mestinya toh tidak perlu diberitahukan, mestinya mereka-mereka sudah tahu. Menyadari bahwa kami adalah sebagian besar petani dari warga desa biasa mestinya menyadarkan mereka bahwa masalah stamina ini akan menjadi kebutuhan kami yang mendesak.

Tetapi satu hal yang jelas terbangun dalam persepsi sebagaian besar pengungsi adalah, bahwa tuntutan yang sedang kami lakukan ini tidak ada harapan untuk berhasil. Pemerintah sudah melempem, DPR dan pengadilan pun tidak berdaya, sementara polisi menghentikan proses penyidikan. Dan kalau semua upaya untuk menarik perhatian dukungan ini ternyata tidak juga membuahkan hasil yang nyata, selain hanya pernyataan di Koran dan rasan-rasan di dunia maya.

Padahal sementara rumah tangga kami semakin kacau, ekonomi kami semakin berantakan, pemilik grup perusahaan yang menjadi penyebab masalah kami menjadi orang terkaya di negeri ini dan martabat-nya seolah tidak tercela dengan nasib kami yang kian merana. Sementara kami hidup dan tinggal di pengungsian, pegawai Lapindo di Surabaya tinggal di hotel Berbintang 5. Apakah ini bukan versi modern David lawan Goliath. Tidakkah kami hanya tengah menggantang angin.

Tuntutan Yang Terus Menurun

Padahal alasan permintaan kami berbeda dengan sebagian besar korban adalah karena kami tidak ingin meninggalkan sistem sosial yang selama ini sudah kami kenal dan akrabi sejak kami kecil. Tinggal dengan tetangga teman dan saudara yang sama seperti sebelum terjadi bencana ini. Tidak sedikitpun ada niat kami untuk mengambil untung, tetapi kami hanya ingin hidup kami yang sudah susah dan terhenti selama setahun akibat lumpur ini tidak jadi semakin parah.

Awalnya, tuntutan kami adalah Lapindo harus membayar nilai aset sesuai harga yang ditetapkan perpres, langsung 100 persen, plus uang kontrak dan lain-lain seperti yang dibayarkan kepada korban Lapindo yang menerima perpres. Nilai ini kami anggap sebagai ganti rugi materiil, sedangkan immateriilnya, kami menuntut disediakan tanah seluas 30 ha, dimana kami akan membangun lagi desa kami seperti sebelum kejadian, sehingga kami masih bisa tinggal bersama-sama lagi.

Alasan meminta pembayaran langsung secara penuh bukan karena kami serakah, namun karena nilai sebagian besar aset korban tidak besar. Sehingga kalau dibayar 20 persen, nilai itu tidak akan cukup bagi kami untuk membangun rumah (jangankan membangun rumah, bayar hutang saja mungkin sudah habis). Sedangkan kalau secara langsung dibayar 100 persen, bayangan kami itu akan cukup untuk membangun rumah, sehingga kami tidak terlalu lama menjadi gelandangan.

Tuntutan ini juga didasarkan bahwa alasan pembayaran 20 – 80 persen menurut kami tidak adil dan hanya memperhatikan kepentingan cash flow Lapindo, bukan korban yang sudah kepepet secara umum. Terbukti, salah satu majalah keuangan internasional melansir bahwa nilai aset Aburizal Bakrie (pribadi, bukan aset Grup Bakrie) mencapai hampir 50 triliun rupiah. Hanya 0,1 persen dari nilai itu sebenarnya sudah cukup untuk membayar kami, atau 2 persen kalau untuk membayar semua aset korban.

Sedangkan uang kontrak dan lain-lain tersebut akan kami kumpulkan dan dipakai sebagai modal awal untuk usaha bersama atau koperasi dari warga. Dengan perusahaan milik bersama atau koperasi ini, warga yang kehilangan pekerjaan (terutama petani yang akan sangat kesulitan membeli sawah ditempat lain) bisa bekerja lagi. Demikian juga untuk korban yang selama ini pabriknya tenggelam dan tidak mungkin bisa beroperasi lagi

Namun Lapindo dan pemerintah menolak dan mengacuhkan tuntutan kami ini. Setelah berbulan-bulan seolah-olah bicara dengan tembok, kami akhirnya sepakat untuk menurunkan tuntutan. Baiklah, mungkin tidak 100 persen, tetapi 50-50 saja, tetapi untuk sisa pembayaran 50 persennya kami minta dibayar tiga bulan, biar nasib kami tidak terkatung-katung terlalu lama. Tuntutan ini tentu saja tidak akan memberatkan mereka, karena bahkan EMP-pun, bagian dari Grup Bakrie pemegang saham di Lapindo, mencatat keuntungan akhir tahun itu.

Tetapi lagi-lagi tuntutan ini, yang sudah kami tembuskan ke mana-mana, serasa menembus angin. Bupati angkat tangan, gubernur enggan menanggapi, sejumlah menteri menganggap kami mengada-ada. Berbagai upaya kami lakukan, tetapi tetap mentok. Pihak Lapindo bahkan tidak bersedia bertemu degan kami untuk membicarakan tuntutan ini, apalagi bernegoisasi. Di media mereka bilang, kalau menuruti permintaan kami, mereka akan melanggar Perpres, dan mereka akan patuh dengan hukum.

Sampai kemudian, ketika itikad baik kami untuk berunding dan menurunkan tuntutan ini seperti teriakan di gurun pasir semata, warga kami mulai gelisah. Ini bagaimana? Jangan-jangan mereka tidak mau menuruti ini karena kami meminta ganti immaterial tadi. Padahal tuntutan ini menurut Romo Magnis sangat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dan sudah seharusnya Lapindo dan pemerintah memenuhi agar kami masih bisa hidup bergotong royong dan mengembangkan masyarakat paguyuban seperti sebelumnya di desa yang kini sudah lenyap dari muka bumi.

Karena itu, kamipun lagi-lagi, tanpa diminta, menurunkan tuntutan sehingga kami tidak lagi meminta ganti rugi imateriil berupa tanah dan bangunan sebesar 30 ha tadi. Kami tetap berencana untuk tinggal bersama, sehingga kami berencanakan untuk membeli tanah tersebut dari uang kontrak dan lain-lain yang seharusnya menjadi hak kami, yang akan kami kumpulkan bersama-sama. Tanah yang bisa dibeli nantinya akan dibagi rata setiap orang satu petak, dengan ukuran yang sama.

Namun lagi-lagi, selama beberapa bulan, tuntutan kami inipun tidak ada kejelasan. Tidak ada pertemuan maupun tanggapan resmi dari Lapindo terkait tuntutan kami. Mereka tetap teguh dengan posisi bahwa mereka tidak akan melanggar Perpres. Sampai satu titik, kami benar-benar tidak habis pikir sebenarnya Negara dan warga bangsa ini menganggap kami ada tidak sih. Kenapa semua pada diam, dan tidak banyak yang membantu kami menyuarakan hal ini.

Negoisasi dan Negoisasi

Situasi yang mulai dilanda keputusasaan atas ketidakjelasan nasib setelah 21 bulan ini, ditambah dengan dinamika eksternal yang semakin memperkuat posisi Lapindo, kemudian ketemu dengan berbagai masalah di internal pengungsian. Perkembangan selama satu bulan terakhir membuat posisi kami benar-benar terjepit, dan menyerah kepada tawaran Lapindo semakin lama menjadi semakin masuk akal. Apa yang terjadi ?

Sejak pertengahan bulan Maret 2008, entah kenapa, Lapindo dan pemerintah daerah melakukan pendekatan yang intentif terhadap pengungsi. Padahal sebelum-sebelumnya, ketika kami yang mencoba melakukan pendekatan, mereka malah dalam posisi sangat defensif, dan cenderung mengabaikan keberadaan kami. Adalah Bupati Sidoarjo yang mengundang kami untuk melakukan pertemuan dengan pihak Lapindo, guna menyelesaikan tuntutan pengungsi.

Padahal bupati sendiri dalam beberapa pertemuan dengan pengungsi maupun pernyataan yang dilansir media menyatakan dia sudah angkat tangan dengan apa yang diminta pengungsi. Bahkan pada satu kesempatan, pemerintah kabupaten pernah mengultimatum akan menyerbu dan mengusir kami dari pasar, dengan membagikan selebaran.

Layaknya ultimatum belanda kepada Arek2 Suroboyo pada tahun 1945, kamipun membuat ratusan bambu runcing. Bayangan kami, coba saja datang, dan usir kami, kita lihat apa yang akan terjadi. Entah karena pemerintah paham hukum, atau sekedar masih waras untuk menyerbu orang yang sudah tidak bisa kehilangan apa-apa lagi selain nyawa, serbuan tersebut dibatalkan.

Jadi walau dengan memendam banyak pertanyaan, kamipun menerima tawaran untuk bertemu dengan Lapindo. Harapannya pemerintah memang benar2 mulai akan memihak kami, dan bersama-sama menekan Lapindo untuk memenuhi tuntutan kami. Apalagi toh kami sudah menurunkan tuntutan tersebut sebanyak tiga kali, mungkin kali ini akan diterima.

Oleh Bupati, dijanjikan bahwa ini adalah proses negoisasi, dan memastikan bahwa Lapindo tetap berkomitmen untuk menyelesaikan masalah semua korban lapindo, termasuk yang di pengungsian pasar baru Porong. Karena itu, bupati meminta kedua pihak (korban diwakili oleh pengurus paguyuban kami, Lapindo diwakili oleh Andi Darussalam) untuk tidak kaku dengan posisi masing-masing, dan meminta kedua pihak mengedapankan kepentingan penyelesaian masalah.

Selain itu, bupati juga meminta agar para pihak tidak membocorkan masalah ini kepada media. Tanpa bermaksud berpikiran negative (sebab selama ini sudah terlalu banyak pikiran negatif, buat apa ditambah-tambah lagi), kami menganggap ini sebagai cara agar perundingan bisa berjalan dengan efektif, menghasilkan terobosan dan tidak terganggu oleh media.

Akhirnya perundingan yang difasilitasi oleh bupati inipun mulai digulirkan. Satu pertemuan, disusul pertemuan berikutnya, selalu mentok ke poin yang sama. Kami tidak mau penyelesaian terlalu lama, dan kami sudah menurunkan tuntutan kami tiga kali sejak dari awal tuntutan. Sementara lapindo berdalih bahwa mereka tidak mau melanggar perpres. Poin yang dianggap melanggar perpres adalah term pembayaran yang 50 – 50 tersebut.

Sempat muncul alternatif tawaran yang diajukan oleh Bupati, yaitu relokasi plus. Relokasi artinya, Lapindo bersedia mempercepat pembayaran, namun kalau korban mau agar sisa pembayaran diganti dalam bentuk rumah di kompleks perumahan yang dibangun oleh Grup Bakrie. Tentu saja perumahan dengan harga mereka, yang bagi sebagian dari kami akan sangat berat. Lokasinya juga jauh dari desa kami awalnya, sehingga menyulitkan anak2 yang sudah sekolah di sekitar Porong dan korban yang masih bekerja di sekitar situ.

Namun demi itikad untuk mencari solusi yang terbaik, kamipun bersedia menjajaki tawaran itu, dan meminta melihat ke lokasi yang dijanjikan. Pada hari H yang disepakati, ternyata acara tiba-tiba diubah secara sepihak oleh Lapindo, dan acara kunjungan ke lokasi diganti melihat maket di hotel berbintang di Surabaya. Melihat reaksi ini, wargapun sepakat untuk menolak skema ini karena korban melihat maksud yang disembunyikan dengan kejadian ini.

Setelah itu, terjadi lagi beberapa kali pertemuan, namun tetap tidak membuahkan hasil. Ketika sorotan semakin mengarah pada pihak korban, akhirnya kami pun menurunkan lagi posisi. Kami akhirnya menerima skema pembayaran sesuai perpres, yaitu 20 – 80. Namun sisa pembayaran tidak dilunasi 23 bulan setelahnya, tetapi tiga bulan dari penandatanganan PIJB, dan ada perubahan poin di PIJB sehingga memberi kepastian hukum.

Skema ini tidak akan memberatkan Lapindo, karena sesuai dengan skema Perpres dan masih ada tempo pembayaran. Sedangkan dari pihak korban, sebenarnya posisi ini sama saja dengan kami kembali ke titik awal. Sebab 3 bulan kemudian dari akhir bulan maret itu adalah bulan Mei ini, saat sebagian besar korban awal (termasuk kami) seharusnya memang waktunya dibayar.

Bagi korban, ini merupakan titik kompromi paling akhir karena kami akhirnya memutuskan untuk menerima skema pembayaran perpres, meskipun dengan syarat diatas dan catatan bahwa kami tidak akan meninggalkan pasar sampai ada kejelasan mekanismenya. Dengan sangat berat hati, karena kami sudah menurunkan tuntutan beberapa kali, namun Lapindo tetap kukuh.

Yang membedakan kami dengan korban lainnya hanya bahwa nasib kami akan relatif lebih baik, karena nantinya akan bisa tinggal bersama-sama lagi seperti dulu di desa. Sementara kawan-kawan korban yang lain sudah tercerai berai entah kemana.

Apakah posisi ini, yang sudah sedemikian melunak masih dengan serta merta diterima oleh Lapindo dan posisi kami didukung oleh Bupati. Ternyata tidak. Lapindo ternyata tetap kukuh bahwa pembayaran akan sesuai dengan Perpres. Padahal poin yang oleh Lapindo dianggap melanggar Perpres tersebut adalah poin pembayaran. Kami bersikeras bahwa dengan memajukan pembayaran itu tidak melanggar perpres (karena poin selambat-lambatnya seperti dijelaskan diatas).

Ditambah lagi bahwa ketika apa yang kami tawarkan berbeda dengan terjemahan mereka atas perpres, mereka pasang harga mati. Padahal kami sudah tidak defensif ketika mereka yang memberi penawaran yang berbeda, seperti halnya pada saat tawaran relokasi yang akhirnya ditolak tersebut. Terlebih lagi, ketika mereka menawarkan relokasi, yang notabene kami wajib membeli unit perumahan mereka dengan harga komersial, mereka bersedia mempercepat pembayaran.

Demikian juga bupati yang justru posisinya menekan kami dengan menghadapkan kami dengan himpunan pedagang dari pasar porong lama yang sedianya menempati pasar porong baru, tempat pengungsian kami (meskipun pasar ini belum beroperasi sewaktu bencana terjadi, dan pedagang masih belum membeli stan pasar baru ini).

Kami bahkan terheran-heran dan terbersit pikiran negative, jangan-jangan Lapindo memang sedang menggencet kami, yang selama ini menyusahkan mereka. Jangan-jangan pemerintah tengah bermain-main dengan batas kesabaran kami karena dianggap selama ini kami sudah menentang kebijakan mereka dan menjadi kerikil di sepatu yang mahal.

Siasat-siasat yang Mematikan

Ketika korban di pengungsian sudah sedemikian resah karena posisi perundingan yang tidak jelas, kami dikejutkan dengan perkembangan baru yang beruntun hanya dalam bilangan 2 minggu. Akhir April, tiba-tiba salah seorang pegawai Lapindo bagian external relation melakukan pendekatan kepada salah seorang korban. Intinya memberi tawaran dari pihak manajemen yang sama sekali berbeda dengan yang disampaikan lewat perundingan resmi.

Kepada korban ini, pegawai Lapindo ini menawarkan pembayaran bisa dipercepat menjadi satu tahun, namun uang kontrak hanya diberikan satu tahun. Bukan apa yang ditawarkan ini yang menjadi kami kaget, sebab tidak terbilang berbagai macam upaya untuk memecah belah warga di pengungsian sebelumnya dilakukan. Kami kaget karena negoisasi resmi dengan perwakilan Lapindo yang difasilitasi oleh Bupati ternyata bisa ditelikung dengan terang-terangan semacam ini.

Siasat ini kontan menimbulkan kegemparan di kalangan warga. Muncul kesan seolah-olah pengurus tidak menyampaikan kepada warga hasil perundingan yang sebenarnya. Apalagi korban yang dihubungi tersebut dengan upaya sendiri melakukan sosialisasi kepada korban lainnya, tanpa sepengetahuan pengurus. Tiak lama kemudian kami mengetahui hal ini dan melakukan berbagai cara untuk meyakinkan warga bahwa itu hanya upaya untuk memecah belah warga.

Belum lagi kejadian ini reda, beberapa hari kemudian muncul manuver berikutnya. Kami membaca di media bahwa Lapindo akan menghentikan jatah makan bagi pengungsi korban Lapindo mulai bulan Mei 2008. Alasan yang dikemukan oleh Lapindo bahwa jatah makan ini adalah, sejalan dengan kampanyenya, semata merupakan bentuk bantuan dan kepedulian mereka kepada korban.

Dengan kalimat yang manis, pihak Lapindo menyarankan agar pengungsi menerima saja jatah uang kontrak, sehingga tidak perlu hidup menderita di pasar seperti sekarang ini. Upaya persuasi yang dari awal sudah kami tolak, karena dengan menerima kontrak tentu saja akan menjebak kami ke dalam skema mereka. Dan tanpa ada kesepakatan yang jelas tentang bagaimana nasib kami, tentu saja menerima kontrak akan membuat kami tidak punya daya tawar apa-apa terhadap Lapindo.

Ketika situasi semakin memanas dan warga semakin resah dengan kepastian nasibnya, muncul surat gelap yang dikirim ke beberapa puluh warga. Surat yang tidak menyebutkan identitas penulisnya ini berisi berbagai macam fitnah dan hasutan yang tidak berdasar dan mendelegitimasi pengurus paguyuban. Juga ancaman bahwa kalau warga tidak menerima kontrak paling lambat 1 Mei, warga pengungsi tidak akan mendapat pembayaran dari Lapindo.

Seakan itu semua belum cukup, beberapa hari kemudian ketika warga bertemu Lapindo di pendopo Kabupaten untuk melanjutkan perundingan dan mengklarifikasi berbagai manuver tadi, bupati memberi keterangan di media bahwa korban Lapindo di pengungsian akhirnya menerima skema perpres. Padahal pertemuan itu tidak mencapai kemajuan apapun, kecuali ada pertemuan berikutnya untuk membahas detil mekanisme pembayaran.

Keterangan yang diberikan bupati kepada media ini tentu saja semakin membingungkan kami. Bukankah Bupati sendiri yang meminta agar proses perundingan tidak dibocorkan kepada media dan kepada publik. Dan bukankah apa yang terjadi di pertemuan di pelintir oleh Bupati sendiri dengan menyatakan bahwa warga sudah menerima perpres, tanpa syarat.

Esoknya, media memuat keterangan bupati tersebut, yang sorenya dilanjutkan dengan datangnya undangan dari Lapindo kepada korban untuk melakukan penandatanganan kontrak di kantor Lapindo. Tidak satupun warga yang datang memenuhi undangan tersebut, yang lagi-lagi besoknya dipelintir oleh Lapindo dan dimuat media bahwa kami sudah di intimidasi oleh pengurus paguyuban.

Seakan memungkasi semua manuver bertubi yang sangat efektif melemahkan kepercayaan diri korban, Lapindo kemudian menerapkan jurus pamungkas. Melalui serangkaian hubungan telepon, Lapindo mengajak bertemu dengan pengurus paguyuban, kali ini tidak dihadapan Bupati. Dalam pertemuan ini, Lapindo memberikan penawaran yang bahkan secara materiil lebih rendah daripada apa yang dicantumkan di Perpres, namun dengan percepatan pembayaran.

Maka lengkap sudahlah Lapindo berupaya menjepit pengungsi korban lumpur Lapindo. Serangkaian siasat yang berhasil memupus harapan korban, dan membuktikan bahwa kalau Lapindo menginginkan satu hal, maka tidak ada yang menghalangi mereka. Sedangkan korban, faktanya (di)tinggal sendirian memperjuangkan nasibnya, dengan tidak ada apa-apa lagi fasilitas bagi pengungsi.

Seruan Terakhir Korban Lapindo dari Pasar Baru Porong

Maka demikianlah surat yang sangat panjang ini dibuat, untuk menarik perhatian pihak-pihak yang peduli kepada korban Lapindo. Kami tunggu pertolongan anda, kami tuntut komitmen anda. Kami sudah berada dalam posisi yang sangat terjepit. Tidak ada lagi fasilitas terhadap korban, baik dari Lapindo maupun dari pemerintah. Disisi lain, Lapindo sudah terbukti mampu mengacak-acak ketahanan dan kerukunan kami sebagai paguyuban.

Maka kalau anda masih mempunyai hati nurani dan pernah menyatakan peduli dan siap membela korban lumpur Lapindo, tidak ada saat yang lebih tepat selain sekarang. Sebab minggu depan bisa jadi yang namanya korban lapindo sudah tidak ada lagi. Setelah ini kami sebagai sedikit dari korban Lapindo yang tersisa, dan satu-satunya yang masih melawan, akan menjadi mitra jual beli Lapindo.

Dan setiap upaya apapun untuk memperjuangkan masalah Lapindo akan kehilangan basis. Kalau menurut Romo Magnis kami saat ini sedang mencoba mengamalkan dan menegakkan sila paling inti dari Pancasila yaitu Keadilan yang Beradab akan menyerah, maka satu minggu lagi Lapindo akan membuktikan bahwa kemenangan modal akan kepentingan bangsa dan Negara ini menjadi komplit.

Kalau sebelumnya kami tidak pernah meminta sesuatu yang kongkret tentang apa yang bisa dilakukan bagi korban Lapindo, maka untuk yang terakhir kalinya sekarang, kami meminta anda, individu maupun lembaga yang peduli korban Lapindo, untuk :

- Datanglah ke pengungsian pasar baru Porong untuk berjuang bahu membahu dengan kami, sehingga bisa meyakinkan sebagian besar korban yang saat ini sudah putus harapan.

- Bukalah dompet-dompet peduli korban Lapindo, yang akan dipergunakan untuk kegiatan penguatan ekonomi bagi kami

Read More ..