Minggu, 15 Juni 2008

Ayo keroyok Bakrie rame-rame (bag - 1)


Saya sempat marah, kecewa, muak dan bahkan mutung karena merasa bicara dengan tembok ketika coba teriak-teriak tentang masalah Lapindo. Berbagai seruan, ‘gugatan’, bahkan fait accompli, ternyata paling tidak menurut saya tidak mampu membuat orang berbondong-bondong untuk membantu korban.

Pun momentum dua tahun peringatan semburan Lumpur, malah membuat saya semakin muak kehilangan harapan. Berita tentang Lapindo memang sama sekali tidak lenyap dari pemberitaan media, meskipun bersaing dengan berbagai isu panas lainnya. Tetapi muatan yang muncul malah membuat saya semakin sesak. Seolah kita tengah mengingat satu peristiwa, yang tuntas saat itu juga dan tidak berlanjut.


Momen dua tahun ini seolah menjadi semacam peringatan ulang tahun. Bahwa dua tahun lalu Lumpur mulai menyembur di Sidoarjo. Sama dengan kita memperingati, 100 tahun lalu Budi Utomo didirikan, atau 80 tahun lalu, sumpah pemuda dikumandangkan, atau 10 tahun lalu generasi saya berdemo di gedung DPR (asli kaget bener waktu Suharto bisa turun dan g ada pertumpahan darah), dan menandai reformasi.

Saya jadi bisa merasakan dengan benar bagaimana merasa terhinanya keluarga para aktivis yang hilang atau yang dibunuh. Peringatan 10 tahun kehilangan itu bukan berarti bahwa 10 tahun yang lalu mereka hilang, namun tidak lama sudah ketemu keluarga lagi. Padahal, mereka sampai sekarang masih hilang dan tidak jelas keberadaanya.

Kalau untuk keluarga korban tragedi trisakti dan semanggi, peringatan ini berarti bahwa 10 tahun kemudian siapa yang menembaki dan membunuh anak-anak mereka sampai sekarang tidak jelas. Jadi peringatan 10 tahun semacam itu adalah semacam kesaksian, bahwa Negara ini memang goblok karena tidak mampu melindungi mereka, dan anak bangsa yang lain toh juga cuek.

Peringatan 2 tahun semburan Lumpur Lapindo bukannya memperingati awal keluarnya semburan Lumpur Lapindo. Peringatan dua tahun ini mestinya adalah penegasan, betapa Negara ini memang dibawah ketiak Keluarga Bakrie, dan komponen bangsa yang lain, diakui atau tidak, gagal memperjuangkan ke-Indonesiaan.

Sebab kalau saya tidak salah memahami, inti Pancasila adalah Gotong Royong, demi mencapai tujuan kehidupan berbangsa, yang salah satunya adalah, kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka bantah saya, sanggah bahwa Keluarga Bakrie saat ini tidak tengah menginjak-injak kemanusiaan dan keadilan bangsa Indonesia.

Yah, bangsa Indonesia yang kebetulan diwakili oleh rakyat Sidoarjo. Yah, korban Lumpur itu adalah rakyat yang kebetulan jumlanya ratusan ribu (moga-moga penyebutan korban dengan angka ini tidak jadi klise, soalnya orang yang ratusan ribu ini kalau saja mau bergandengan tangan, panjangnya akan menyamai keseluruhan panjangnya di jalanan di Jakarta).

Dan kalau ini bisa terjadi di Sidoarjo, maka dengan mudah ini akan terjadi di tempat lain dan bagian lain dari bangsa Indonesia. Atau mungkin kalimat didepan bahkan perlu dipertajam, kalau Sidoarjo dan Jawa Timur saja bisa begitu diacak-acak oleh kedigdayaan politik dan ekonomi Keluarga Bakrie, apa harapan bagi daerah lain dengan ke-Indonesiaan semacam ini.

Namun saya merasa kemudian bahwa Bakrie sudah memenangkan pertempuran di semua lini. Pemerintah jelas dikangkangi. DPR (halah, hari gini… msh percaya sama DPR). Penegak hukum memble (jangankan lawan Bakrie, lawan FPI aja mbulet…). Media, beberapa masih sayup-sayup sampai, meskipun sebagian besar gak beda dg pelacur.

Terus apalagi yang bisa dilakukan? Tidak ada, ini semua hanya omong kosong, Bakrie tetap akan menjadi pemenang dan yang tertawa paling akhir. Sedangkan puluhan ribu saudara, teman, tetangga saya korban lapindo banyak yang sudah mati, menjadi gila, gelandangan, terpaksa jadi pengemis, bahkan melacur, anak2 tidak bisa sekolah, bahkan terancam cacat karena harus menghirup gas tiap hari.

Mungkin inilah kenyataan. Satu paket yang harus saya terima karena masih mau ngurus KTP dan mengaku diri bangsa Indonesia. Saya harus menerima kenyataan bahwa bangsa yang sangat kaya akan nilai-nilai budaya yang luhur, ramah, religius, komunal, ini ternyata juga susah mengingat, gampang dikibulin, dan bisa sangat cuek dan abai.

Kalau sebelumnya saya cuma membaca kesimpulan ini dari artikel di koran, sekarang saya merasakan ini secara langsung, sebagai sebuah pengalaman yang sangat pahit. Pengalaman sebagai korban dari bencana Lumpur panas yang disebabkan oleh perusahaan Keluarga Bakrie yang bernama PT Lapindo. (bersambung ke bagian 2)

Tidak ada komentar: