Minggu, 29 Juni 2008

Resettlement ala Lapindo yang ra-settle-temen


Beberapa waktu belakangan ramai diberitakan bahwa Lapindo menawarkan resettlement. Bahkan Lapindo juga memasang 'iklan' tentang betapa murah hatinya mereka dengan tawaran ini. Tetapi, dikabarkan juga bahwa ternyata 'kebaikan hati' ini banyak ditolak oleh korban. Namun setelah melalui berbagai manuver, seperti biasanya, korban akhirnya takluk juga. Lalu apa sebenarnya dasar penolakan korban? Dan apa sebenarnya yang dimaksud dengan konsep resettlement oleh Lapindo?

Kenapa korban menolak?
Bahwa banyak korban yang emoh dengan pola resettlement (istilah ini perlu didekonstruksi, akan sy uraikan dibawah) yg sekarang digembar-gemborkan Lapindo dan pemerintah. Kenapa mereka emoh?
- Pertama,
korban (kecuali dari perumtas) pada dasarnya adalah orang desa. Tinggal di perumahan sama sekali bukan pilihan bagi mereka. Ada guyonan yang beredar di warga kayak gini (sori pake bahasa Jawa, soalnya klo diterjemahkan bhs Indonesia dadi aneh. Bagi anda yang perlu terjemahannya, kirim email ke saya, nanti saya charge Rp. 1000 perkata, hehehe).

"Lha nek sampean duwe sapi, kate di depek mbale tah?"
"Lha laopo lho?"
"Lha wong sampean gak duwe lawang mburi, kok. Dadi melbu metune sapi yo lewat mbale, koyok tamu"

"Engko lek ngarit ambek ngasak yo nang sukete stadion utowo nang alun2"

"Sampean gak duwe KTP kan, yo gak iso urip nang perumahan"
"Lha laopo?"
"Praen sampean iku gak pantes dadi wong sugih, dadi satpame yo gak percoyo lek sampean omahe nang kono. Lha engko mesti ditakoni KTP"

Dan masih banyak lagi yang seperti itu. Intinya, hidup di perumahan tidak akan compatible dengan gaya hidup warga.

Kedua, lokasi yang disediakan cukup jauh dari Porong/Tanggulangin. Lha bagaimana dengan tambak dan sawah mereka? Bagaimana dengan kerjaan yang jualan bakso atau buka warung disana? Bagaimana dengan anak2 yang sekolah disana? Pendeknya banyak kendala teknis yang akan memberatkan.

Ketiga, kalaupun mau di perumahan, jelas tidak di KNV yang disediakan Lapindo. Sebab harga yang dipatok mereka sangat mahal, dibanding perumahan lain yang bisa dibeli di Sidoarjo (dan bisa jadi lokasinya lebih dekat dengan lokasi asal mereka)

Keempat, banyak korban yang sudah menerima uang muka pembayaran 20 persen membelanjakannya untuk nyicil dengan beli tanah dan bahan bangunan. Mbangunnya yah dengan pakai uang yang 80 persen yang sudah dijanjikan (bahkan di sumpah lho! Kalau ada temannya cak nun yang mbaca tulisan ini, mbok ditanyakan apa sanksinya kalau Lapindo mblenjani gak mbayar? Atau sumpah dulu itu hanya untuk korban)

Karena itulah, sebagian besar korban PADA AWALNYA menolak skema ini. Kenapa pada awalnya saya tulis kapital dan tebal? Karena pola semacam ini memang bukan yang pertama. Kalau istilah salah satu kuis di tipi itu, Lapindo yang selalu dapat good deal. Dalam prosesnya dilakukan berbagai cara dan dihembuskan berbagai isu, yang menjadikan tidak memilih resettlement ala Lapindo sama sekali bukan pilihan bagi korban. Warga ditakut2-i
kalau tidak menuruti skema ini, mereka tidak akan dibayar sama sekali. Silahkan gunakan jalur pengadilan (lha...dalah, kok malah nantang!) Atau menunggu giliran mbuncit setelah pemilu 2009, yang pada saat itu, entah Lapindo masih mau mbayar atau tidak (lha wong dasar hukumnya cuma perpres, iya kalo presidennya (naudzubillah!) kepilih lagi).

Bahkan, situasinya sudah jauh bergeser dan tidak lagi muncul pertanyaan kenapa korban harus memilih tawaran Lapindo itu. Kalau permintaan korban sedikit aja tidak sesuai, maka Lapindo akan menjadikan perpres sebagai tameng. Tapi kalau Lapindo yang merasa perlu mengadali perpres, mereka akan memakai segala cara untuk membenarkan. (Lha herannya yang bikin perpres kok ya diam saja yah perpres-nya dikadalin seperti itu? Atau apakah karena dia memang sudah duluan dikadalin oleh Bakrie)


Tentang Resettlement.

Setelah menjelaskan tentang kenapa korban menolak, saya perlu jelaskan juga tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan resettlement ala lapindo. Istilah resettlement yang ditawarkan oleh Lapindo menurut saya jelas sangat salah kaprah dan keblinger. Tetapi sekali lagi, berhubung hampir semua media sudah mengamini (tidak hanya publik saja yang bermemori pendek, media2 yang punya bagian litbang atau yang mengarsip, kok ya bisa2nya gak mengangkat secara kritis masalah ini), yah mau gimana lagi. Saya paling tidak perlu memberi tahu kepada publik yang sebenarnya. Begini salah kaprahnya.

Pada awal2 semburan, saat semua masih belum jelas, bagaimana bentuk pertanggungjawaban Lapindo, wacana ini sudah muncul (lihat tulisan kenapa korban bertahan) Masalahnya adalah, berbagai macam wacana, semuanya hanya sebatas itu. Komentar pejabat, janji wapres, himbauan menteri, perintah presiden, atau apapun lah. Pendeknya, seperti iklan teh botol, apapun wacananya, pelaksanaanya, gak konkret. Korban sudah sangat mahfum akan hal ini, tapi apa mau dikata, dan bisa apa?

Nah pada saat kemudian muncul perpres dan orang sudah terpaksa menerima dan merencanakan masa depan dengan mengacu perpres itu, tiba-tiba ada upaya sistematis untuk 'mementahkan' lagi proses. Lapindo tiba2 muncul lagi bak pahlawan dan dermawan kelas wahid yang akan menyediakan rumah dan kehidupan yang lebih baik bagi korban. Berbagai cara dilakukan untuk menjustifikasi bahwa resettlement ini yang paling tepat bagi korban (termasuk, Masya Allah, menyewa 'pelacur2' akademik dari salah satu kampus ternama di Surabaya) .

Padahal, konsep resettlement ala Lapindo berbeda sama sekali dengan konsep awalnya.
Bedanya, yaitu, yang dulu resettlement adalah korban disediakan tempat tinggal baru, sementara rumah mereka tenggelam oleh lumpur. Ini adalah murni bentuk ganti rugi. Tidak ada pengalihan hak dari aset korban yang sudah tenggelam. Lapindo menyediakan rumah, dan tidak mendapat apa2 sebagai imbal balik. Kenapa mereka mau melakukan itu? Yah karena seharusnya mereka bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh korban akibat ulah mereka.

Sementara kalau yang sekarang, sebenarnya lebih pada tukar guling secara paksa. Karena warga harus menjual aset mereka dan diganti dengan yang baru. Dengan skema yang sekarang,
alih2 mengalami kerugian, Lapindo justru akan mendapat keuntungan finansial, yang maksimal.
Benar-benar biadab.

Ma'af kalau kata2 saya kasar, sebab saya paling sebel dan merasa nalar saya diinjak2 kalau ada yang bilang atau menganggap bahwa Lapindo sekarang sedang menanggung kerugian. Tidak benar sama sekali. Malahan mereka justru untung. Kenapa saya bilang seperti itu?

Ini analoginya (ma'af klo ada yang pernah dengar).

Ada mobil nabrak motor. Klo si penabrak bertanggungjawab, maka si pengendara motor dibawa ke rumah sakit, motornya diperbaiki. Setelah sembuh, motor yang sudah lebih baik itu dikembalikan, dan diberi entah uang atau bentuk lain sebagai ganti 'kerugian' yang dialami oleh
Korban. Baik karena sakitnya, kehilangan waktu, atau kehilangan pendapatan. Si korban pulih, dan penabrak mengeluarkan biaya, tanpa dapat imbalan apa2, selain rasa hormat bahwa dia ternyata bertanggungjawab.

Dalam masalah Lapindo ini, alih-alih dirawat dan motornya di perbaiki, pengendara motor hanya diganti oleh uang. Penghitungannya tidak didasarkan pada kebutuhan (biaya perawatan, perbaikan motor dan ganti rugi lainnya). Jadi cukup tidak cukup ya duit itu yang dipake agar si
korban bisa pulih lagi. Masalahnya, agar uang tersebut bisa diberikan, pengendara motor harus menyerahkan motornya kepada penabrak. Jadi dia mengeluarkan duit, tetapi dapat motor. Bisa dikatakan impas-lah.

Pada titik ini saja, setiap orang waras (dan media yang cerdas dan bermoral) mestinya sudah harus menganggap bahwa penabrak termasuk orang yang tidak bertanggungjawab. Tetapi kecurangan Lapindo ternyata tidak berhenti sampai disitu. Ternyata belakangan, uang itu tidak jadi diberikan, tetapi diganti dengan dibelikan motor baru oleh Lapindo.

Lha bagaimana dengan biaya2 pengobatan, kesakitan, kehilangan waktu, kehilangan kenormalan (sebab mungkin dia cacat), kerugian karena tidak bekerja, dan sebagainya? Ya tidak dihitung. Bangsatnya lagi, ternyata penabrak adalah pengusaha diler motor. Tentu saja dia dapat untung
dari sana (bayangkan 13 ribu unit perumahan, akan terjual dalam waktu 6 bulan).

Sudah? Ma'af kalau saya mengecewakan kawans tentang anggapan terhadap kadar ke'bangsat'an Lapindo. Tetapi memang selain bencana ini unprecedented dalam hal skala besarnya kerusakan, tetapi juga dalam hal tingkat kebejatan yang bisa dicapai oleh manusia dan korporasi. Dalam bencana ini, jelas bahwa Grup Bakrie memang biangnya Bangsat. Kalau orang Sidoarjo bilang, mbokne ancuk atawa mother fucker...

Ternyata, motor yang sudah diserahkan tadi, si penabrak punya usaha bengkel. Jadi motor itu nanti bisa diperbaiki, dan kembali utuh bahkan bisa dimodifikasi lebih baik, sehingga bisa dijual lagi. Suatu saat lumpur akan berhenti nyembur (kawan2 di Gerakan Menutup Lumpur Lapindo yakin akan hal ini dan punya proposal yang sangat jelas).

Maka lahan yang sudah tenggelam yang 800 ha itu nantinya akan dikembangkan sendiri oleh BakrieLand Developer (10 tahun lalu, siapa sih yang mau beli tanah di kawasan pantai indah kapuk). Dibangun mall, akses tol dipulihkan, dibangun akses marina, jadilah perumahan mewah di kawasan selatan Surabaya. Harganya jelas akan jauh lebih mahal dari yang sudah ada. Belum lagi kalau dugaan bahwa di bawah ternyata ada deposit migas yang sangat besar.

Jadi Lapindo saat ini tidak sedang mengeluarkan duit untuk ganti rugi, tetapi investasi aset untuk pengembangan korporasi Grup Bakrie. Korban yang sudah sedemikian susah karena bencana ini, masih diinjak2 oleh keserakahan Lapindo. Sementara kami semakin sengsara, Bakrie justru semakin menggelembung aset dan bisnisnya.

Mau tahu pembuktian paling gampang dari masalah ini? Toh lahan itu tenggelam oleh lumpur dan tidak bernilai ekonomis kan? Coba aja minta mereka mengembalikan kepemilikan lahan kepada korban, atau serahkan aja lahan tersebut kepada negara. Ya jelas mereka akan mencak2. Sebab mereka memang tengah mengembangkan berbisnis di Sidoarjo, dan bukan sedang bertanggungjawab atas keteledoran yang mereka lakukan.

Ra-settle-temen

Begitulah, meskipun sangat pahit dan saya mungkin akan terancam untuk diteror oleh orang-orang 'Kau Tahu Siapa', tetapi saya harus menuliskan apa yang terjadi di Sidoarjo. Bahwa apa yang mereka sampaikan di media adalah upaya yang sistematis untuk mensamarkan keserakahan korporasi yang tiada tara ini.

Jadinya, bagi korban, konsep resettlement yang ditawarkan Lapindo ini sama aja dengan konsep cash and carry yang sudah mereka pelintir dulu. Kalau cash and carry dulu oleh korban dinamakan bayar kes (tunai) 20 persen, 80-nya keri-keri (belakangan, entah kapan). Kalau resettlement kini diartikan ra-settle-temen, atau ya tidak kunjung membuat nasib korban jadi lebih jelas, malah mengulur waktu.

Tidak ada komentar: