Selasa, 01 Juli 2008

Pernikahan Korban Lapindo dengan Anggota Keluarga Bakrie (bag 1)


Saya sebenarnya enggan menulis posting ini, karena takut akan berdampak kepada pihak yang tidak ada hubungannya dengan masalah Lapindo. Sampai kemudian kemarin sy jumpa kawan lama yg ternya sekarang berprofesi jadi debt collector. Ceritanya, omongan bermuara pada bagaimana cara memaksa Bakrie bertanggungjawab. Usulan sahabat saya, permalukan dia dan keluarga-nya di mata tetangga. Gak perlu pakai kekerasan, tidak perlu intimidasi. Kawan saya bilang, trik itu selalu sukses dia pakai nagih utang. Sebandel apapun si penunggak, kalau dia masih manusia (lha ini sy yang ragu :)), mereka pasti akan nurut.

Anyway, mbalik ke masalah si "Kau Tahu Siapa", saya kemudian ingat ide tulisan yang cukup lama tertunda. Yaitu tentang masalah pernikahan salah seorang korban lapindo dengan anggota keluarga Bakrie. Eit, jangan keburu sewot. Saya tidak sedang menipu anda dengan judul yang sensasional. Ini sekedar kaidah bahasa Indonesia yang benar, untuk tidak mengulangi subyek:).
Maksudnya kan ada korban lapindo yang sedang menikah, ada juga anggota keluarga Bakrie yang sedang (akan) menikah. Dengan siapa? Ya dengan pasangannya masing2!

Nah, ceritanya, sekitar sebulan yang lalu, saya dihubungi Mas Pepeng dari Semarang. Iya benar, mas Pepeng escoret yang legendaris itu. Katanya dia ngelihat tulisan saya, dan tertarik untuk datang ke Sidoarjo, siapa tahu ada yang bisa dibantu. Setelah beberapa kali kontak2an, bahkan kopi darat di Semarang (lha iyo, kocik adohe, iyo lek kopi darat ambek Dewi Sandra dibelani teko nang Semarang soko Sidoarjo:)), akhirnya Mas Pepeng menepati janjinya datang ke Pasar Porong. Eh, ternyata yah, Mas Pepeng itu orangnya masih muda, gaul, tajir, alim lagi *halah* kok dadi ngomongne Mas Pepeng.



Pas di pasar, ternyata lagi ada mantenan. Nah karena saya yang biasa kelihatan kemana2 sok nenteng kamera dan handycam, biasanya sering ketiban sampur jadi seksi dokumentasi (kualitas lho kok ya gak nambah2 sejak jakul dulu ya, seksi dokumentasi. Padahal salah seorang anggota seksi dokumentasi dulu, sekarang jadi fotografer Kompas). Termasuk sore itu. Bahkan ngropel, dapat dua job. Sore motret, malamnya nyetir mobil untuk ngantar lamaran ke desa sebelah di Porong.

Pada saat motret2 itu, yah sebenarnya tidak ada perasaan apa2 di saya, selain bahwa yah ini agak beda dari kesehariannya, karena ya memang sedang ada mantenan itu. Beberapa tetua duduk di dalam bilik bersekat kain (istilah kami omah gombal=rumah dari kain lusuh), dengan hidangan yang ala kadarnya. Meskipun cuma ada beberapa orang undangan, mungkin kurang dari 10 orang, tapi karena ruangannya memang sempit (sekitar 3 x4 m. Oh ya, ini bukan kamar lho, ini rumah untuk 1 keluarga. Ya kamar tamu, ya dapur, ya kamar tidur, pokoknya semua), akhirnya terkesan berdesak2an. Untuk mengurangi hawa panas (atap pasar dari seng yang dibulan2 ini kalau siang hangudzubillah hot), di pojok ada kipas angin.

Yah memang cuman itu yang mereka mampu. Yah, mau gimana lagi. Toh si calon suami tetap mau menerima istri yang korban Lapindo. Toh besan juga tidak mempermasalahkan status keluarga yang tidak jelas dan tinggal di pasar. Meskipun semua sudah lenyap, masa depan yah harus disongsong, begitu pikir kedua mempelai. "Lha yok opo maneh mas, di turut2i lha tambah marakno gendeng. Poko'e keluarga wes gelem". Saya tidak tega nambahi pertanyaan, lha terus mau tinggal dimana? Saya mbayangin, pasti akan dibacok kalau tanya bulan madunya kemana? Melihat tempatnya, saya cuman bisa menghela nafas (sambil nyengir) mbayangin mereka menghabiskan malam pertama (plok, lamuke wakeh yo dik, atau tiba-tiba, ahhhh, tikusssss...What a first night, batinku)

***

Setelah ambil foto2, mas Pepeng yang juga ikut ternyata (belakangan saya nyadar) melihat itu semua dengan serius. Tidak banyak yang ditanyakan oleh Mas Pepeng. Paling tidak, tidak sebanyak 2 orang wartawan Kompas yang juga datang sore itu, mencari cerita untuk liputan 2 tahun lumpur Lapindo (dan peristiwa sederhana tadi memang lolos dari radar seorang jurnalis profesional). Sayapun tidak ada pikiran yang serius tentang peristiwa mantenan itu, selain cuman harus mikirin ngedit dan ngopi foto dan video dokumentasi kegiatan warga, seperti biasanya, kerja bakti :D

Sempat nginep semalam dan besoknya jalan2 ke tanggul dan desa2 yang sudah tenggelam, mas Pepeng pun kembali ke Semarang. Sekitar seminggu setelah itu, muncul tulisan di blog-nya (kalau sampeyan baca tulisan ini, sepurane mas, saya baru aja tahu tentang tulisan sampeyan, karena sempat sebulan saya mutung dengan internet. Dan ternyata yang sebenarnya saya mutungin itu ya karena saya ternyata masih 'butuh' direspon orang. Begitu ngelihat tulisan dan provokasi ternyata tidak mampu 'membakar', saya sempat kecewa. Tapi sekarang saya mau egois aja deh. biarin, onani... onani deh, mau ada yang baca atau tidak, peduli Bakrie :))

Judulnya, korban Lapindo masih melawan. Salah satu kisah yang diceritakan adalah tentang mantenan tersebut. Dan ternyata banyak sekali yang ngomentari (lha ya emang blogger selebritis seh:)) Dan betapa lugasnya dia menceritakan, meskipun tanpa wawancara yang ndakik-ndakik. Dan betapa mudahnya menggambarkan segala penderitaan yang terjadi di sana. (Ayo-ayo, para blogger se Indonesia, ada lowongan nih, mumpung korban Lapindo masih ada. Bulan depan mereka sudah jadi mitra jual beli-nya Bakrie semua. Ayo ramai2 datang ke Sidoarjo dan tuliskan bukti nyata kebejatan Lapindo dan kemandulan pemerintah disana)

(bersambung ke bag 2)

foto dari escoret.net

2 komentar:

Anonim mengatakan...

....JANCUUUUK pancene BAKRIE iku empatinya mana ya, tapi wes onok balesane kok meskipun titik perusahaan e akeh seng ambyuk kenek krisis gombal, nah lho kalo udah kayak gitu trus mo ngapaian mo bunuh diri kayak pialang saham yang ada di negaranya OBAMA itu ta, matai ya mati tapi ojok ajak2 koncone, mati o dewe ae....

escoret mengatakan...

yakin ae mas win,pasti korban dapat sesuai apa yg di alami,terutama soal ganti rugi.

awal tahun ini ada pemilu,semoga slogan-slogan yg dibawa sby dan sebaginya..bener2 bisa mebuat baik kondisi di porong sana.

Saya kalah mental dengan mas andi..yg kuat nikah dan mampu secara ekonomi dibandingkan saya yg tidur pules ndak diganggu nyamuk.

semoga saya bisa ke sana lagi mas,minimal bisa membuat ringan beban meraka..ya,klo ndak..bisa sebagi tempat sampah curhat bagi korban lumpur. dan hati,telinga ini siap di situ...

“If you tremble indignation at every injustice then you are a comrade of mine.”