Sabtu, 05 Juli 2008

Pernikahan Korban Lapindo dengan Anggota Keluarga Bakrie (Bag 2)


Beberapa hari setelah kegiatan singkat saya dengan Mas Pepeng itu, ada muncul kabar berikutnya. Ternyata, keluarga "The Boss" yang menyebabkan semburan lumpur akan menikahkan salah seorang putrinya, yang bernama adinda bakrie *slurrpp* Yang heboh adalah, kabar betapa akan megahnya jalannya pernikahan itu. Biayanya aja diperkirakan akan menelan 2 digit miliar rupiah (pinjam ekspresi Untung waktu diberitahu Artalyta besarnya uang suap untuk Urip, Laillahilallah). Kawan-kawan di BerantasLapindo menghitung kalau uang segitu akan cukup untuk memberi makan korban lapindo yang masih mengungsi di pasar porong selama 8 bulan.
Mendengar itu, ingatan saya langsung kembali pada acara mantenan yang dilaksanakan korban lapindo di pengungsian pasar baru Porong beberapa saat sebelumnya. Betapa memang sangat kontras perbedaan itu. Saya tidak bisa membayangkan, seperti apa mewahnya acara yang akan digelar itu. Saya tidak bisa membayangkan betapa bahagia kedua mempelai nantinya, di sanjung oleh para tamu yang pastinya hebat2 (korban lapindo ada yang diundang gak yah?). Lalu, seperti jamaknya cara berpikir Wong nDeso kebanyakan, mindahniyo buwuhane. Berapa banyak hadiah perkawinan yang akan mereka terima. Dan satu hal yang pasti, malam pertama si pasangan pengantin pastinya tidak akan dipusingkan dengan nyamuk dan tikus yang lalu lalang di sekitar peraduan mereka.

Ah, ketika kemudian mode baik hati saya on, jangan sirik ah. Yah wajar lah orang tua dimana2 menggelar acara perkawinan anaknya semewah mungkin. Di desa saja, kalau perlu dibela-belain sampe utang segala, biar acaranya kelihatan pantes. Lha apalagi ini, keluarga terkaya se Asia Tenggara, ya duit segitu seh gak ada apa-apanya. Keciilll. Terus saya juga kepikiran, kalau sampe saya ikut2an menghujat rencana pernikahan itu, kan kasihan tuh si Adinda *slurrppp lagi, makin banyak* Dia kan gak tahu menahu kesalahan yang dilakukan bapak dan pakdenya. Masa karena kebencian kita kepada seseorang, menyeret orang2 dan anggota keluarga lainnya. Nggak, ah, pikir saya waktu itu. Biarin, toh masih banyak masalah yang lain yang jauh lebih penting untuk dipikirkan.
Bahkan ketika ada salah satu korban lapindo mengusulkan cara yang menurut saya cukup inovatif untuk menarik perhatian publik terhadap masalah Lapindo, saya menanggapi dengan adem ayem saja. Si penulis mengajak siapapun yang peduli masalah Lapindo ramai2 melakukan demo di acara pernikahan itu, yang kabarnya pertengahan bulan Juli di Hotel Mulia dan dilanjutkan Agustus di Bali. Kalau perlu, menurutnya, kita demo di depan hotel tempat penyelenggaraan acara, sehingga para tamu tidak bisa masuk. Wah seru juga nih idenya. Tapi saya haqqul yakin tempat penyelenggaraan acara pada hari H-nya, akan dilakukan pengamanan seketat istana negara.
Meski begitu, ide tersebut hanya sepintas lalu saja dan tidak ada yang menajamkan lebih lanjut. Sampai kemudian saya bertemu dengan teman SMP yang jadi debt collector seperti saya sebutkan di awal tulisan. Bahwa, untuk menagih penunggak yang membandel, cara yang paling efektif adalah dengan 'memperlakukan' si penunggak di depan keluarga, teman dan tetangganya. Sebab cara-cara formal apapun, sepanjang itu tidak mengusik secara langsung posisi si penunggak di depan lingkungan terdekatnya, urai teman saya, tidak akan banyak mendorong si penunggak utang untuk tergerak melunasi utangnya.
Dengan analogi ini, saya jadi ingat kejadian di akhir tahun 2007, sewaktu belasan korban lapindo menghadiri ajang UNFCCC di Bali. Betapa kami harus mengalami serangkaian kejadian yang sangat berlebihan dari aparat keamanan dalam perjalanan kesana. Dalam kejadian yang minim sekali diliput media itu, kami diperlakukan layaknya serombongan teroris yang sudah di DPO-kan. Kami diikuti sejak beberapa hari sebelum berangkat, mobil yang kami tumpangi dicegat keamanan bersenjata lengkap dan kendaraan taktis, ditahan selama 8 jam, dipaksa menandatangani pernyataan yang mengebiri hak kami untuk menyampaikan pendapat, sampai diikuti oleh intel (dan jubir BPLS, halah) kemanapun kami pergi.
Ada apa ini, pikir kami waktu itu. Kami kan tidak ada niatan jelek apapun untuk mengganggu jalannya acara. Lagian, tempat berlangsungnya acara ini kan masih dalam wilayah republik ini. Padahal, kami datang ke acara itu juga diundang secara resmi oleh CSO forum, untuk berbagi informasi dengan semua korban pembangunan di Indonesia dan dari penjuru dunia. Sampai kemudian kami diberitahu bahwa ternyata yang mengepalai hajatan UNFCCC adalah "Si Om". Oalah, pantes aja, pikir saya belakangan. Rupanya si "Kau Tahu Siapa" mungkin takut kami bakal wadul tentang nasib kami tamu-tamunya. Lak yo isin, kalau misalnya semua delegasi sampe paham bahwa ketua Steering Commitee UNFCCC ternyata yang menjadi penyebab kejahatan lingkungan terbesar di Sidoarjo. Makanya kok kami sebisa mungkin dicegah untuk tidak jadi datang ke Bali dan mengabarkan kepada dunia apa yang terjadi di Sidoarjo.
sampai

***

Maka kalau asumsi di atas benar, mengganggu rencana pernikahan anggota keluarga Bakrie akan mempunyai nilai yang strategis dalam mendorong agar Bakrie bertanggungjawab terhadap masalah dan nasib korban lumpur lapindo. Setelah berbagai upaya untuk menuntut tanggungjawab Bakrie terhadap masalah Lapindo tampaknya membentur tembok, trik teman debt collector saya bisa jadi pilihan yang layak dipertimbangkan. Kita bikin aja Bakrie menjadi malu karena mengelak dari tanggung jawab dalam masalah Lapindo. Kita bikin keluarga, kerabat, teman dan tetangga mereka menyadari bahwa Bakrie sedang 'mangkir dari hutang' terhadap korban Lapindo.
Romo Magnis sebenarnya sudah memberi contoh dalam hal ini, dengan terang-terangan menolak pemberian Bakrie Award karena isu Lapindo. Maka, tanpa bermaksud mengganggu kebahagiaan Adinda Bakrie (aahhhhhh...., lama2 ngeliat dia kayak si Kardhasian yah) dan calon suaminya, perlu ada yang melakukan sesuatu agar rencana pernikahan itu menjadi hal yang memalukan. Perlu diserukan kepada semua undangan untuk memboikot dan menolak hadir dalam acara pernikahan. ICW mungkin perlu bikin 'ancaman' bagi siapapun yang datang ke acara itu, nantinya dimasukkan semacam daftar politisi busuk (istilahnya apa ya? 'anti' korban lapindo, orang2 yang tumpul nurani, penjagong manten busuk *halah* terserah apa situ-lah yang lebih ahli).
Atau kalau perlu, seperti usulan seorang korban lapindo diatas, diorganisir aja demo di acara pernikahannya. Atau tidak dalam bentuk demo, tapi kita ngumpul ala ngerubutin selebriti yang jalan di red carpet sewaktu malam perayaan OSCAR. Cuman bedanya, kalau tamu yang datang di malam OSCAR akan dielu-elukan oleh fans, diwawancara dan difoto penuh gemerlap dari media infotainment. Tapi kalau mereka yang datang ke acara pernikahan itu, di teriaki ramai2 ala suporter bola kita neriakin wasit yang brengsek. Kalau perlu diwawancara dan difoto untuk besoknya dipampang dan diprofil sebagai orang yang gak punya rasa kepedulian. Atau masing-masing tamu kita beri suvenir lumpur (mode sarkas on, yo ke-enak-en, lumpure di guyangno ae).
Jadi *helpless mode on* kapan BEM se Indonesia atau FORKOT (atau Munarman? Lha 99 persen korban lumpur kan wong Islam, kok nggak dibelani?) datang ke Sidoarjo untuk ngambil lumpur buat acara ini? Tak sediani rong trek.

Tidak ada komentar: