Senin, 07 April 2008

Tentang Ganti Rugi (1)

Dari awal terjadinya bencana Lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, wacana tentang ganti rugi telah mengalami distorsi sedemikian rupa. Distorsi ini mengakibatkan kesalahpahaman tentang apa yang terjadi, yang justru menguntungkan perusahaan dan merugikan warga.


Berikut beberapa distorsi yang paling sering muncul :


1. Bahwa warga korban lapindo sudah mendapat ganti rugi.

Di media massa kerap kali disampaikan bahwa Lapindo sudah mengganti kerugian yang dialami oleh warga akibat semburan lumpur. Sejalan dengan itu, Lapindo melalui PT Minarak Lapindo Jaya membuat dan memasang iklan yang cukup intensif untuk menunjukkan bahwa mereka sudah melaksanakan tanggung jawab kepada warga. Dan segendang sepermainan, BPLS dan pemerintah juga kerap mewartakan bahwa Lapindo sudah membayar ganti rugi.

2. Bahwa warga korban lapindo setelah dibayar, sekarang kaya raya

Skema pembayaran yang ditetapkan oleh Perpres adalah aset warga dibeli oleh Lapindo. Setelah pembayaran mendapat pembayaran berupa uang, sehingga sekarang kaya raya dan mulai bisa mendapat. Ini ditambah dengan pembandingan bahwa harga yang dibayar oleh Lapindo adalah lebih tinggi dari NJOP.

3. Warga yang terus menuntut Lapindo adalah karena mereka mengambil untung dan serakah. Hal ini terkait dengan poin nomor dua diatas, bahwa mestinya setelah dibayarkan ganti ruginya oleh Lapindo, warga seharusnya bersyukur dan berhenti berdemo2. Apalagi dibandingkan dengan korban bencana alam biasa, dimana ganti rugi hanya diberikan senilai 15 juta per keluarga
4. Lapindo sudah memberikan semua fasilitas yang diperlukan oleh korban

Dalam berbagai kesempatan, pihak Lapindo selalu mengemukakan bahwa mereka sudah menyediakan semua fasilitas dasar yang diperlukan oleh korban, mulai dari kesehatan, air bersih, pendidikan sampai pada penyediaan makanan untuk korban.

5. Lapindo meskipun belum jelas bersalah, sudah mengeluarkan dana miliaran bahkan triliunan rupiah untuk korban.

Berlarut-larutnya penyelidikan kasus Lapindo dan ditolaknya dua gugatan class action dari Walhi dan YLBHI kepada Lapindo seringkali dijadikan alasan Lapindo bahwa mereka tidak bersalah. Meskipun mereka tidak bersalah, namun toh Lapindo tetap peduli dan mengeluarkan biaya ratusan milyar bahkan triliunan rupiah lebih


Saya bahas satu persatu (sisanya dilanjutkan dalam bagian2 berikutnya)

1. Korban Lapindo sudah mendapat ganti rugi

Yang pertama perlu diklarifikasi adalah, TIDAK ADA yang namanya ganti rugi. Yang terjadi adalah proses jual beli aset korban (tanah, sawah dan bangunan). Dan korban disini adalah yang rumahnya masuk dalam peta terdampak (menurut tulisan saya sebelumnya, mereka adalah jenis korban kelompok 1)

Begini analoginya.

Ada bis yang entah kenapa nyeruduk serombongan pengendara motor. Sebagai bentuk pertanggungjawaban si pengemudi, seharusnya dia membiayai biaya perawatan dan penyembuhan para pengendara, lalu membetulkan kerusakan motornya ke bengkel, dan mungkin memberi sejumlah santunan sebagai ganti rugi atas ketidaknyamanan atau kehilangan waktu yang dialami tiap pengendara. Dan motor tetap dikembalikan kepada si pengendara tho?

Tetapi alih-alih melakukan semua hal diatas, si pengemudi mobil ini ternyata memilih untuk membeli motor yang ditabrak, dengan harga diatas harga pasar, tanpa mempedulikan luka diderita maupun kerugian yang dialami para pengendara. Dengan uang hasil pembelian itu, korban diharap mampu beli motor lain, juga mengobati sendiri lukanya dan mengganti kerugian lain yang timbul tadi.

Masalahnya kemudian adalah, terdapat beberapa jenis pengendara. Ada pengendara yang motornya keluaran terbaru, sehingga dihargai cukup mahal, namun ada juga yang motornya sudah butut, sehingga harganya juga murah. Kalau yang motornya baru tadi, mungkin memang akan cukup untuk beli motor baru, dan biaya pengobatan. Nah untuk yang motornya butut, jangan2 hanya untuk biaya pengobatan saja sudah habis duitnya.

Nah, ada yang lebih celaka lagi nasibya, yaitu adalah mereka yang naik motor pinjaman. Dengan skema tadi, yang dapat duit adalah yang punya motor. Sedangkan dia tidak dapat apa2, dan semakin babak belur karena keluar biaya sendiri untuk pengobatan. Yang untung malah si empunya motor dirumah, yang tidak ikut mengalami kecelakaan.

Usut punya usut, kabarnya kenapa si penabrak tadi memilih skema ini adalah karena ternyata dia punya bengkel reparasi motor. Sehingga, motor-motor yang ditabrak dan ringsek tadi, nantinya bisa diperbaiki lagi dan dijual sehingga mendatangkan untung. Jadi yang mestinya sekarang dia keluar duit dan merugi karena dia bersalah telah nabrak, malah potensial dapat untung.

= = =

Demikian juga dengan bencana lapindo ini. Tidak ada itu yang namanya ganti rugi. Oleh Perpres 14/2007, alih-alih membayar ganti rugi kepada warga, malah diperintahkan membeli sawah, tanah dan bangunan milik warga. Tidak peduli kerugian lain yang mereka alami, baik fisik (seperti kehilangan dan rusaknya perabot dan barang lainnya) maupun non fisik (penderitaan di pengungsian, kehilangan sumber pencaharian maupun pekerjaan, hidup yang tiba-tiba tercerabut dari lingkungan sosial dan budaya yang diakrabinya, dan sebagainya), Lapindo hanya bertanggungjawab membeli aset mereka.

Masalahnya, tidak semua orang mempunyai aset yang besar, sehingga ganti rugi tersebut hanya akan cukup untuk membeli aset di tempat yang lain. Sedangkan kehilangan barang, hutang yang harus diambil selama mengungsi, kehilangan pekerjaan, biaya pengobatan, tambahan biaya sekolah anak, dan sebagainya tidak dihitung. Apatah lagi kerugian yang bersifat immaterial.

Seperti analogi kecelakaan mobil nabrak motor diatas, yang paling merana nasibnya adalah kelompok warga yang tinggal disitu, namun tidak ikut memiliki aset, alias pengontrak atau penyewa. Meskipun mereka sudah bertahun-tahun (beberapa kasus bahkan puluhan tahun) tinggal disitu dan bekerja serta menjadi bagian dari warga, karena bukan pemilik aset, maka dia tidak dapat apa-apa. Yang mendapat pembayaran malah pemilik tanah yang bisa jadi orang dari luar daerah dan tidak mengalami dampak apa2 dari bencana ini.

Sekali lagi sesuai dengan analogi diatas, ternyata Lapindo tidak benar-benar ’rugi’. Dengan skema jual beli ini, mereka saat ini sudah menguasai tanah seluas hampir 700 ha, secara utuh dalam satu blok, diwilayah yang diperkirakan sangat kaya akan kandungan hidrokarbon. Dan dengan adanya pengembang besar PT Bakrieland Development, Tbk, bukan tidak mungkin bekas wilayah yg sekarang terendam lumpur ini, entah berapa tahun lagi akan disulap jadi kawasan industri atau hunian yang mahal (ingat perkembangan kawasan pantai Indah kapuk di Jakarta atau kawasan Pakuwon di Surabaya?). Jadi, duit yang keluar hari ini anggap saja investasi lahan properti masa depan.

= = =

Dari uraian diatas, bagaimana mungkin Lapindo sudah mengganti rugi korban???

Tidak ada komentar: