Senin, 14 April 2008

Hentikan Jatah Makan, Kami Tetap Bertahan (bag 1)

Lapindo ancam cabut jatah makan, pengungsi korban lapindo lapor ke Komnas HAM, begitu kata berita kemarin. Menurut Lapindo, mereka sudah terlalu lama memberi fasilitas kepada pengungsi. Sementara 12 ribu KK lainnya sudah menerima kontrak, tinggal 604 KK warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak) yang sekarang tinggal di pasar, yang belum menerima.
Apa yang sebenarnya terjadi?

Lapindo dan pemerintah, selalu membuat opini bahwa kpengungsi ini adalah kelompok yang serakah. Sebab, kami tidak mau menerima skema yang ditawarkan (lebih tepatnya, dipaksakan) melalui Perpres 14/2007, seperti 94 persen dari ‘korban’ (ingat tentang korban dalam tulisan sebelumnya), atau 48 ribu jiwa lainnya.

Faktanya, justru kelompok inilah yang masih keukeuh dan tidak tunduk pada paksaan pemerintah. Sementara sebagian besar korban lainnya, justru sudah tertundukkan akibat politik pengabaian dan pembiaran yang kompak dari pemerintah dan perusahaan. Akibatnya, mereka tidak ada pilihan lain kecuali menerima skema pemerintah. Dan bagi pemerintah, mereka inilah warga yang ’baik’.

Sedangkan pengungsi di pasar ini, dari awal menolak skema ganti rugi dengan model jual beli. Kami juga menolak uang kontrak rumah Rp5 juta rupiah, uang jatah hidup Rp300rb per bulan dan uang pindah Rp500rb. Kami lebih memilih bertahan di pasar, dengan kondisi yang sangat tidak layak, dibanding menerima kontrak, seperti yang selalu didesakkan pemerintah dan Lapindo, dan diterima oleh 48ribu korban lainnya.
Lalu mengapa kami ngotot menolak skema perpres?

Pertama, sebenarnya bukan kami saja yang ngotot menerima skema perpres. Hampir semua korban lapindo awalnya menolak skema perpres. Tetapi karena selalu diombang-ambingkan oleh isu, diintimidasi, diancam untuk tidak dibayar, sementara keseharian hidup di pengungsian juga sangat menderita, sebagian besar dari korban akhirnya memilih untuk menerima skema perpres. Sehingga mereka keluar dari pasar, dapat uang kontrak, lalu mencari rumah kontrak sendiri-sendiri.
Kedua, alasan kami menolak bukan karena skema pemerintah ini bakal tidak menguntungkan kami, tetapi justru sebaliknya. Percayalah, dibayar berapapun kami akan lebih memilih hidup kami yang dahulu di desa. Masalahnya, dengan menerima kontrak, hidup kami yang sudah susah akibat bencana ini, bakal tambah jauh lebih sengsara.

Sebab, dg menerima kontrak, kami akan tercerai berai dan tidak bisa hidup dalam satu komunitas seperti di desa dahulu. Dengan hidup tercerai berai, maka sebagian dari anggota komunitas ini, tidak akan bertahan, bahkan untuk hidup sekalipun.

Lho, kok bisa?

Ambil contoh mbok Ma, salah satu warga dusun Sengon, Renokenongo, yang sudah berusia sangat lanjut (dia tidak lagi ingat tanggal lahirnya). Selama ini dia hidup sendiri, di rumah dengan ukuran 5 x 6 meter, tanpa pekerjaan dan tanpa simpanan. Dia bisa hidup layak, dan masih relatif bahagia, sekalipun tanpa kerabat, ya karena dia hidup disitu, di Desa Renokenongo.

Dia sudah tinggal disana sejak kecil, kenal dengan semua orang. Hingga bagi mbok Ma, semua orang adalah kerabat, menggantikan kebutuhan akan kedekatan dengan cucu2nya, anak2nya. Secara ekonomi-pun, dia bisa hidup layak, karena sering terbantu oleh tetangga2nya. Yang seringkali, didesa penghitungan ekonomi memang tidak selalu untung/rugi. Sehingga dengan kemampuan seadanya, ada saja yang bisa dikerjakan oleh Mbok Ma, untuk dapat uang, dan dipakai makan sehari-hari.

Nah, orang seperti Mbok Ma ini tidak akan bisa bertahan kalau harus pindah ke desa lain. Dia bukan seperti anggota masyarakat urban yang bisa dengan mudah pindah dari satu kota ke kota lain, dari perumahan satu ke apartemen lain, dari satu komunitas ke lingkungan lain. Bukan pula seperti mereka yang punya pekerjaan di sektor formal atau keahlian multi sektor, sehingga ketika pindah ke lingkungan baru, tidak akan kesulitan sama sekali.

Mbok Ma butuh tinggal di desa Renokenongo, untuk hidup, untuk selamat dan untuk sejahtera di hari tuanya. Dan orang seperti Mbok Ma, atau bernasib sama dengan dia (pedagang nasi, toko kelontong, petani penggarap, dan banyak lainnya) jumlahnya ribuan, puluhan ribu bahkan. Dan kepentingan mereka sama sekali terabaikan oleh skema yang ditawarkan pemerintah, yang hanya menguntungkan Lapindo.
(bersambung ke bagian 2, tentang kenapa kami bertahan, dan apa tuntutan kami)

Tidak ada komentar: