Sepasang backpacker dari Belanda, pada akhir November tahun lalu, secara tidak sengaja membagi setitik kegembiraan bagi anak2 Taman kanak-kanak korban Lapindo, dan ngajari saya tentang kepedulian
===
Eef dan Lowie (baca: if dan lui), demikian pasangan muda ini memperkenalkan diri, tengah dalam perjalanan keliling Indonesia ketika mereka mendengar tentang bencana Lapindo. Karena rasa ingin tahu, mereka kemudian mampir melihat-lihat ke lokasi semburan lumpur dalam perjalannya ke Bali.
Selepas melihat tanggul dan desa-desa yang tenggelam, mereka tanya tentang bagaimana nasib warga yang sebelumnya tinggal disana. Oleh pemandunya, mereka diarahkan ke Pasar baru Porong (selanjutnya sy sebut paspor), karena disanalah sebagian besar warga yang mengungsi masih tinggal.
Hal pertama yang menjadi pertanyaan mereka ketika berada di pasar adalah, bagaimana nasib anak2? Bagaimana sekolah mereka? Apakah mereka bisa bermain dengan normal? Dan berbagai pertanyaan seputar anak2, yang justru tidak pernah saya dengar dari pejabat ketika mereka datang ke Paspor.
Dari si guru yang menemui, mbak Lilik Kaminah, meluncurlah cerita tentang sekolah TK Paspor yang serba darurat dan ala kadarnya. Kurang lebih begini tutur mbak Kami, demikian dia biasa dipanggil :
Selepas lumpur menenggelamkan desa mereka (Desa Renokenongo), sebagian warga disana mengungsi ke paspor. Salah satu perhatian para orang tua yang mempunyai anak usia sekolah adalah, bagaimana nasib sekolah anak2 mereka, khususnya usia TK dan SD, yang sekolahan mereka ikut tenggelam oleh lumpur.
Ternyata di pengungsian Paspor, sarana pendidikan, seperti halnya dengan banyak kebutuhan lainnya, tidak disediakan oleh pemerintah maupun Lapindo. Setelah beberapa lama meminta dan menunggu tanpa ada kejelasan kapan akan disediakan fasilitas sekolah, akhirnya para orang tua mencari sendiri2 sekolah lain di desa terdekat.
Bagi anak usia SD maupun SMP, untuk pindah ke sekolah lain ini mungkin tidak masalah, karena mereka bisa berangkat sendiri. Disamping itu, proses adaptasi dengan teman2 sebaya dan guru2 yang baru dikenal juga relatif mudah. Namun bagi anak usia TK yang masih terlalu kecil terdapat beberapa kesulitan bagi mereka untuk pindah ke TK lain.
Orang tua tidak mungkin mereka melepas anak2 itu berangkat sendirian, sementara mengantar dan nungguin di sekolah juga sulit. Dalam banyak kasus juga sebagian dari mereka kesulitan untuk adaptasi dengan teman2 dan guru2 baru. Pada beberapa kasus ditemui bahwa teman2 baru mereka mengolok2 anak2 tersebut dengan, ”...hei anak lumpur,” atau ”hei anak Lapindo” atau ”hei anak pengungsi”, sehingga membuat anak2 korban itu jadi tertekan
Karena itu, setelah beberapa waktu, para warga pengungsi di Paspor memutuskan untuk membuka sendiri sekolah TK. Bagaimana dengan guru dan fasilitas sekolah? Guru diambil dari warga yang punya anak usia TK, yang tahu kira-kira cara mengelola sekolah TK dari mengamati selama mereka mengantar anak2 sekolah, dulunya sewaktu sebelum ada semburan lumpur.
Sedangkan peralatan dan buku2 diambil dari sumbangan, dan sebagian perabotan dibikin sendiri oleh warga. Maka demikianlah, sekolah TK paspor yang serba sukarela dan seadanya ini mulai berjalan dan mendidik sekitar 60 orang anak2.
= = =
Mendengar cerita ini, Eef dan Lewis menyatakan ingin melihat sekolah TK itu keesokan harinya (karena hari itu sudah sore, sehingga sekolah tutup). Kenapa mereka begitu tertarik dengan anak2 TK ini, pikir saya. Usut punya usut, ternyata mereka, khususnya si cewek, Eef adalah mahasiswi yang tengah belajar menjadi guru olahraga bagi anak2, dan tertarik dengan masalah-masalah pendidikan anak usia dini.
Dan di beberapa negara yg pernah mereka kunjungi, kerap mereka melakukan kegiatan dengan anak-anak usia prasekolah sampai sekolah dasar. ”Lalu bagaimana dengan faktor bahasa”, tanya saya, ”kalian kan gak bisa bahasa Indonesia, sedangkan anak2 itu gak mungkin ngomong Inggris.” ”Jangan khawatir, lihat saja sendiri,” tukas mereka.
Maka kemudian, ketika mereka kembali keesokan harinya, saya benar-benar terperangah. Ternyata mereka benar-benar bisa berinteraksi secara langsung dengan anak2 TK itu. Saya tentu saja tidak tahu apa yang ada dibenak anak2 TK itu terhadap dua bule tersebut. Apakah mereka menanggap dua orang itu londo edan, atau mereka merasa bahwa dua orang asing ini memang tulus bermain dengan mereka.
Yang jelas, mereka saling bermain, bernyanyi (yup, menyanyi...!) dan melakukan berbagai permainan yang mengedepankan unsur senang-senang dan olah raga. Ternyata untuk anak2 TK itu, betapa bahasa bukan menjadi halangan bagi mereka untuk bisa bersenang-senang dan bermain. Selama dua jam penuh sampai waktu sekolah habis, mereka masih asik bermain2.
= = =
Maka yang awalnya dua orang backpacker tadi cuman mampir dalam perjalanannya ke pulau Bali, menjadi tinggal selama beberapa hari dan berinteraksi dengan anak2 TK paspor. Yang awalnya dua orang turis bokek dan gak bawa duit, akhirnya membelikan seperangkat buku ajar dan alat2 peraga lainnya yang membantu berjalannya kelas dengan lebih baik.
Dan sayapun termangu ketika menyadari bahwa kenapa yang punya kepedulian semacam ini adalah 2 orang pengelana, dari ujung bumi, dan terjadi setelah anak2 TK itu ada disitu hampir setahun. Tidak adakah relawan-relawan di negeri ini yang bisa membantu sekolah TK kami yang serba darurat itu dan membantu dan mengajak anak2 kami bermain2, sehingga mereka bisa merasakan rasa kenormalan, barang sehari atau dua hari.
Atau, tidak seperti kepada si Eef dan Lowie, sedemikian sulitnyakah ternyata menggerakkan kepedulian anak bangsa sendiri terhadap kondisi-kondisi seperti yang dihadapi anak2 di Paspor.
Atau pembentukan opini dan kampanye yang dilakukan pemerintah dan pemodal bahwa Lapindo sudah bertanggungjawab, (termasuk menyediakan pendidikan bagi anak2 kami) sudah sedemikian merasuk, sehingga orang kemudian enggan membantu.
Atau jangan-jangan sesederhana bahwa karena publik memang tidak tahu ada situasi-situasi seperti ini di lapangan yang dialami korban lapindo, karena tersisihnya masalah ini dari hiruk pikuk isu lain yang lebih serius (ganti rugi, tanggul jebol, jalanan macet, dsb) dalam bencana multi dimensi ini. Atau, jangan...jangan...
Tau ah, bingung...
Tiba-tiba, mbak Kami, si guru dadakan tadi mendatangi dan sambatan ke saya. ”Mas, besok -besok ajak orang bule lagi ya, siapa tahu bisa bantu biaya foto dan buku raport anak2, sebab kalo ndak ada itu, nanti anak2 gak bisa nerusin ke SD." Sayapun cuman bisa garuk-garuk kepala. Nah lho....!
IIFFFFF... LUUIIIII... Ternyata mereka sudah kembali ke negerinya.
Dan TK kami masih di Pasar Porong, masih seperti setahun yang dulu, tetap sedikit yg peduli...
===
Eef dan Lowie (baca: if dan lui), demikian pasangan muda ini memperkenalkan diri, tengah dalam perjalanan keliling Indonesia ketika mereka mendengar tentang bencana Lapindo. Karena rasa ingin tahu, mereka kemudian mampir melihat-lihat ke lokasi semburan lumpur dalam perjalannya ke Bali.
Selepas melihat tanggul dan desa-desa yang tenggelam, mereka tanya tentang bagaimana nasib warga yang sebelumnya tinggal disana. Oleh pemandunya, mereka diarahkan ke Pasar baru Porong (selanjutnya sy sebut paspor), karena disanalah sebagian besar warga yang mengungsi masih tinggal.
Hal pertama yang menjadi pertanyaan mereka ketika berada di pasar adalah, bagaimana nasib anak2? Bagaimana sekolah mereka? Apakah mereka bisa bermain dengan normal? Dan berbagai pertanyaan seputar anak2, yang justru tidak pernah saya dengar dari pejabat ketika mereka datang ke Paspor.
Dari si guru yang menemui, mbak Lilik Kaminah, meluncurlah cerita tentang sekolah TK Paspor yang serba darurat dan ala kadarnya. Kurang lebih begini tutur mbak Kami, demikian dia biasa dipanggil :
Selepas lumpur menenggelamkan desa mereka (Desa Renokenongo), sebagian warga disana mengungsi ke paspor. Salah satu perhatian para orang tua yang mempunyai anak usia sekolah adalah, bagaimana nasib sekolah anak2 mereka, khususnya usia TK dan SD, yang sekolahan mereka ikut tenggelam oleh lumpur.
Ternyata di pengungsian Paspor, sarana pendidikan, seperti halnya dengan banyak kebutuhan lainnya, tidak disediakan oleh pemerintah maupun Lapindo. Setelah beberapa lama meminta dan menunggu tanpa ada kejelasan kapan akan disediakan fasilitas sekolah, akhirnya para orang tua mencari sendiri2 sekolah lain di desa terdekat.
Bagi anak usia SD maupun SMP, untuk pindah ke sekolah lain ini mungkin tidak masalah, karena mereka bisa berangkat sendiri. Disamping itu, proses adaptasi dengan teman2 sebaya dan guru2 yang baru dikenal juga relatif mudah. Namun bagi anak usia TK yang masih terlalu kecil terdapat beberapa kesulitan bagi mereka untuk pindah ke TK lain.
Orang tua tidak mungkin mereka melepas anak2 itu berangkat sendirian, sementara mengantar dan nungguin di sekolah juga sulit. Dalam banyak kasus juga sebagian dari mereka kesulitan untuk adaptasi dengan teman2 dan guru2 baru. Pada beberapa kasus ditemui bahwa teman2 baru mereka mengolok2 anak2 tersebut dengan, ”...hei anak lumpur,” atau ”hei anak Lapindo” atau ”hei anak pengungsi”, sehingga membuat anak2 korban itu jadi tertekan
Karena itu, setelah beberapa waktu, para warga pengungsi di Paspor memutuskan untuk membuka sendiri sekolah TK. Bagaimana dengan guru dan fasilitas sekolah? Guru diambil dari warga yang punya anak usia TK, yang tahu kira-kira cara mengelola sekolah TK dari mengamati selama mereka mengantar anak2 sekolah, dulunya sewaktu sebelum ada semburan lumpur.
Sedangkan peralatan dan buku2 diambil dari sumbangan, dan sebagian perabotan dibikin sendiri oleh warga. Maka demikianlah, sekolah TK paspor yang serba sukarela dan seadanya ini mulai berjalan dan mendidik sekitar 60 orang anak2.
= = =
Mendengar cerita ini, Eef dan Lewis menyatakan ingin melihat sekolah TK itu keesokan harinya (karena hari itu sudah sore, sehingga sekolah tutup). Kenapa mereka begitu tertarik dengan anak2 TK ini, pikir saya. Usut punya usut, ternyata mereka, khususnya si cewek, Eef adalah mahasiswi yang tengah belajar menjadi guru olahraga bagi anak2, dan tertarik dengan masalah-masalah pendidikan anak usia dini.
Dan di beberapa negara yg pernah mereka kunjungi, kerap mereka melakukan kegiatan dengan anak-anak usia prasekolah sampai sekolah dasar. ”Lalu bagaimana dengan faktor bahasa”, tanya saya, ”kalian kan gak bisa bahasa Indonesia, sedangkan anak2 itu gak mungkin ngomong Inggris.” ”Jangan khawatir, lihat saja sendiri,” tukas mereka.
Maka kemudian, ketika mereka kembali keesokan harinya, saya benar-benar terperangah. Ternyata mereka benar-benar bisa berinteraksi secara langsung dengan anak2 TK itu. Saya tentu saja tidak tahu apa yang ada dibenak anak2 TK itu terhadap dua bule tersebut. Apakah mereka menanggap dua orang itu londo edan, atau mereka merasa bahwa dua orang asing ini memang tulus bermain dengan mereka.
Yang jelas, mereka saling bermain, bernyanyi (yup, menyanyi...!) dan melakukan berbagai permainan yang mengedepankan unsur senang-senang dan olah raga. Ternyata untuk anak2 TK itu, betapa bahasa bukan menjadi halangan bagi mereka untuk bisa bersenang-senang dan bermain. Selama dua jam penuh sampai waktu sekolah habis, mereka masih asik bermain2.
= = =
Maka yang awalnya dua orang backpacker tadi cuman mampir dalam perjalanannya ke pulau Bali, menjadi tinggal selama beberapa hari dan berinteraksi dengan anak2 TK paspor. Yang awalnya dua orang turis bokek dan gak bawa duit, akhirnya membelikan seperangkat buku ajar dan alat2 peraga lainnya yang membantu berjalannya kelas dengan lebih baik.
Dan sayapun termangu ketika menyadari bahwa kenapa yang punya kepedulian semacam ini adalah 2 orang pengelana, dari ujung bumi, dan terjadi setelah anak2 TK itu ada disitu hampir setahun. Tidak adakah relawan-relawan di negeri ini yang bisa membantu sekolah TK kami yang serba darurat itu dan membantu dan mengajak anak2 kami bermain2, sehingga mereka bisa merasakan rasa kenormalan, barang sehari atau dua hari.
Atau, tidak seperti kepada si Eef dan Lowie, sedemikian sulitnyakah ternyata menggerakkan kepedulian anak bangsa sendiri terhadap kondisi-kondisi seperti yang dihadapi anak2 di Paspor.
Atau pembentukan opini dan kampanye yang dilakukan pemerintah dan pemodal bahwa Lapindo sudah bertanggungjawab, (termasuk menyediakan pendidikan bagi anak2 kami) sudah sedemikian merasuk, sehingga orang kemudian enggan membantu.
Atau jangan-jangan sesederhana bahwa karena publik memang tidak tahu ada situasi-situasi seperti ini di lapangan yang dialami korban lapindo, karena tersisihnya masalah ini dari hiruk pikuk isu lain yang lebih serius (ganti rugi, tanggul jebol, jalanan macet, dsb) dalam bencana multi dimensi ini. Atau, jangan...jangan...
Tau ah, bingung...
Tiba-tiba, mbak Kami, si guru dadakan tadi mendatangi dan sambatan ke saya. ”Mas, besok -besok ajak orang bule lagi ya, siapa tahu bisa bantu biaya foto dan buku raport anak2, sebab kalo ndak ada itu, nanti anak2 gak bisa nerusin ke SD." Sayapun cuman bisa garuk-garuk kepala. Nah lho....!
IIFFFFF... LUUIIIII... Ternyata mereka sudah kembali ke negerinya.
Dan TK kami masih di Pasar Porong, masih seperti setahun yang dulu, tetap sedikit yg peduli...
3 komentar:
Ya ampunn.. kadang2 aku suka miris gini nih. Ada orang bule yang bersih2in sampah di pantai di lombok, ada orang bule yg jd dalang, sampe yg care masalah2 sosial kayak gini. Yaa.. yg jelas tetep semangat deh mas,, eh mas kan..? hehehe..
ya tuhan... :(
sementara gw cuma bisa koar2 memaki2 Ical di blog, mereka berdua, Eef dan Lowie, datang jauh2 dari ujung dunia menemani anak2 di sana. maluuu.... kemana mereka, kawan2 gw yang suka demo2 ketika pilkada karena katanya memperjuangkan keadilan itu!!!
:(
keknya comment saya cuma nambah2 masalah ya? maaf deh, yang punya blog
terus berjuang!!!!
Mrinding moco tulisanmu, Mas...
Posting Komentar