Demikian juga dengan skema pembayaran yang dicicil, 20 persen sekarang, 80 persen nanti. Kami menolak ini bukan karena serakah, ingin cash and carry, seperti sering dituduhkan pejabat pemerintah dan Lapindo (masya Allah, bahkan bupati pun, yang seharusnya menjadi pemimpin kami, pernah melontarkan hal itu). Masalahnya dengan skema itu, sebagian besar dari kami yang dulunya punya rumah, akan jadi gelandangan selamanya.
Kadang saya cuman bisa mbathin, ngerti gak sih Lapindo dan pemerintah itu. Ini rumah, yang meskipun sederhana, rumah kami sendiri, rumah yang kami bangun dengan penuh upaya, dan kebanggaan, yang menyimpan semua kenangan kemanusiaan kami. Dan sekarang itu semua sudah lenyap, sementara kami terancam tidak mampu lagi beli rumah yang baru, karena ketidakjelasan pembayaran dari pemerintah
Untuk ukuran rumah yang rata2 didesa, kami hanya akan dapat dibawah 60 – 80 juta rupiah. Kalau dibayar 20 persen dulu, ini pasti akan segera habis untuk mbayar utang, nyicil ini itu, dan berbagai kebutuhan keluarga lainnya selama kami di pengungsian. Sehingga kami minta dibayar sekaligus, atau paling tidak jangan 2 tahun kemudian.
Toh duitnya Bakrie, kata koran, triliunan rupiah. Ada yang bilang, ya kan gak bisa gitu, keduanya kan harus berkorban, gak bisa saling ngotot. Omongan orang KEPARAT! Lha gimana kalo gini, sambil nunggu kejelasan, kami tak tidur di rumah petinggi2 Lapindo dan pemerintah, sedangkan mereka tidur dipasar. Sampai penyelesaiannya tuntas. Gimana kalau gitu? Jadi kenapa harus kami yang diminta paham dan empati?
***
Maka, kamipun menolak skema perpres itu. Kami punya tawaran sendiri, bukan atas dasar egois, dan tidak memberatkan mereka, tapi akan mempermudah kami, melewati masa sulit ini. Kami ingin tinggal sepaguyuban dengan saudara dan tetangga sedesa, maka ganti aja uang kontrak dan lain2 kami dengan tanah 30 ha. Untuk pembayaran, kami sudah turunkan, dari awalnya 100 persen, jadi 50-50, sekarang 20-80, tetapi jangan 2 tahun.
Dan mereka tidak menerima, entah dengan alasan apa. Pemerintah menuduh kami melanggar hukum dan HAM karena menolak perpres dan bertahan di pasar. Padahal, semua orang tahu kalau perpres itu juga melanggar banyak UU lain yang lebih tinggi, bahkan UUD, lalu kenapa kami harus tunduk pada perpres SIALAN itu! Ketika sesuai dengan kepentingan mereka, undang-undang bisa diganti, tetapi kalau tidak, kami yang dituduh subversi.
Maka kamipun bertahan di pengungsian. Di pasar yang baru jadi, dengan beralaskan kasur tipis dan segala keterbatasan fasilitas (lihat cerita ttg sekolah TK kami disini). Padahal kami bukan gelandangan kok, kami warga bangsa yang bermartabat. Meskipun bukan orang kaya, tapi hidup kami tentram di desa kami. Namun kami memaksa tinggal dipasar, karena hanya inilah cara yang kami tahu untuk menyatakan tidak.
Kami berusaha ’hidup’ di pengungsian. Selama hampir 2 tahun kini. Meski makan dijatah ala narapidana, kadang basi, pernah berbelatung. Dengan segala macam keterbatasan sarana dan prasarana, yang membuat kami tidak nyaman dalam melakukan segala macam hal. Termasuk ketika berbuat dengan istri kami, dimalam yang dingin, berimpit2an dengan tetangga, hanya berbatas dinding kain butut (rumah gombal, sebut anak2 kami).
Pun ketika pemerintah melihat kami, korban keserakahan industri ini, justru sebagai pengganggu. Bagi mereka, kami adalah sebutir kerikil, disepatu kulit yang empuk dan nyaman. Bagi mereka, kami adalah debu yang masuk ke mata yang menimbulkan perih, pada saat semuanya sudah sesuai dengan keinginan. Maka pemerintah, yang seharusnya melindungi kami, malah bergandengan dengan si pemodal, untuk mengenyahkan kami, dengan cara apapun.
Intimidasi, teror, hasutan, bujukan, dan berbagai cara yang tak terbilang. Kami ditangkap bak teroris ketika hendak menyampaikan pendapat, di negeri sendiri, atas undangan saudara sebangsa di Bali. Kami juga dihasut dengan berbagai macam cara, dan diadu domba antar kami sendiri. Bahkan, mengancam dan mengultimatum akan menyerbu kami, bak tentara Inggris yang akan menduduki Surabaya.
Dan ketika ratusan bambu runcing (setelah bbrp pejuang kemerdekaan bilang adalah hak kami untuk bertahan) sudah disiapkan untuk menanti serbuan itu, ternyata mereka masih punya akal sehat (atau mungkin takut karena tahu bahwa kami akan kalap kalau jadi diserbu), dan urung menyerbu. Upaya lain dicoba. Berbagai fasilitaspun dipreteli. Air bersih sudah tidak kami konsumsi sejak 5 bulan yang lalu. Bahwa negara seharusnya bertanggungjawab atas nasib pengungsi didalam negeri, sudah tidak dijalankan sejak berbulan-bulan yang lalu
Namun kami tetap bertahan, dengan satu kesadaran, bahwa kalau kami keluar dari pasar, sementara tuntutan kami hanya seperlima dipenuhi, maka tidak ada satupun kekuatan kami untuk memaksa mereka memenuhi sisanya. Pada saat negara sudah memposisikan kami sebagai warga kelas dua, dengan tidak melindungi kami, tetapi memihak pengusaha, maka kami harus berusaha sendiri memperjuangkan tuntutan kami.
Maka, silahkan mengancam mencabut jatah makanan. SILAHKAN terus mengangkangi kesadaran dan akal sehat semua orang, tetapi kami percaya, masih banyak anak bangsa yang tidak merelakan negara ini tenggelam dalam hipokrisi.
Sebab kami yakin, akan banyak saudara sebangsa yang akan mendukung perjuangan kami. Setelah ini, warga bangsa akan berbondong2 untuk datang ke Pasar Porong, mengganti peran pemerintah membantu kami. Untuk menunjukkan bahwa akal sehat mungkin bisa dibeli, tetapi nurani tidak mati di negeri ini
Karena kami percaya bahwa...
KEBENARAN BISA DISALAHKAN....
TAPI TAK BISA DIKALAHKAN...!!!
Jadi, hentikan jatah makan, kami akan bertahan
Senin, 14 April 2008
Hentikan Jatah Makan, Kami Tetap Bertahan (bag 2-habis)
Hentikan Jatah Makan, Kami Tetap Bertahan (bag 1)
Lapindo ancam cabut jatah makan, pengungsi korban lapindo lapor ke Komnas HAM, begitu kata berita kemarin. Menurut Lapindo, mereka sudah terlalu lama memberi fasilitas kepada pengungsi. Sementara 12 ribu KK lainnya sudah menerima kontrak, tinggal 604 KK warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak) yang sekarang tinggal di pasar, yang belum menerima.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Lapindo dan pemerintah, selalu membuat opini bahwa kpengungsi ini adalah kelompok yang serakah. Sebab, kami tidak mau menerima skema yang ditawarkan (lebih tepatnya, dipaksakan) melalui Perpres 14/2007, seperti 94 persen dari ‘korban’ (ingat tentang korban dalam tulisan sebelumnya), atau 48 ribu jiwa lainnya.
Faktanya, justru kelompok inilah yang masih keukeuh dan tidak tunduk pada paksaan pemerintah. Sementara sebagian besar korban lainnya, justru sudah tertundukkan akibat politik pengabaian dan pembiaran yang kompak dari pemerintah dan perusahaan. Akibatnya, mereka tidak ada pilihan lain kecuali menerima skema pemerintah. Dan bagi pemerintah, mereka inilah warga yang ’baik’.
Sedangkan pengungsi di pasar ini, dari awal menolak skema ganti rugi dengan model jual beli. Kami juga menolak uang kontrak rumah Rp5 juta rupiah, uang jatah hidup Rp300rb per bulan dan uang pindah Rp500rb. Kami lebih memilih bertahan di pasar, dengan kondisi yang sangat tidak layak, dibanding menerima kontrak, seperti yang selalu didesakkan pemerintah dan Lapindo, dan diterima oleh 48ribu korban lainnya.
Lalu mengapa kami ngotot menolak skema perpres?
Pertama, sebenarnya bukan kami saja yang ngotot menerima skema perpres. Hampir semua korban lapindo awalnya menolak skema perpres. Tetapi karena selalu diombang-ambingkan oleh isu, diintimidasi, diancam untuk tidak dibayar, sementara keseharian hidup di pengungsian juga sangat menderita, sebagian besar dari korban akhirnya memilih untuk menerima skema perpres. Sehingga mereka keluar dari pasar, dapat uang kontrak, lalu mencari rumah kontrak sendiri-sendiri.
Kedua, alasan kami menolak bukan karena skema pemerintah ini bakal tidak menguntungkan kami, tetapi justru sebaliknya. Percayalah, dibayar berapapun kami akan lebih memilih hidup kami yang dahulu di desa. Masalahnya, dengan menerima kontrak, hidup kami yang sudah susah akibat bencana ini, bakal tambah jauh lebih sengsara.
Sebab, dg menerima kontrak, kami akan tercerai berai dan tidak bisa hidup dalam satu komunitas seperti di desa dahulu. Dengan hidup tercerai berai, maka sebagian dari anggota komunitas ini, tidak akan bertahan, bahkan untuk hidup sekalipun.
Lho, kok bisa?
Ambil contoh mbok Ma, salah satu warga dusun Sengon, Renokenongo, yang sudah berusia sangat lanjut (dia tidak lagi ingat tanggal lahirnya). Selama ini dia hidup sendiri, di rumah dengan ukuran 5 x 6 meter, tanpa pekerjaan dan tanpa simpanan. Dia bisa hidup layak, dan masih relatif bahagia, sekalipun tanpa kerabat, ya karena dia hidup disitu, di Desa Renokenongo.
Dia sudah tinggal disana sejak kecil, kenal dengan semua orang. Hingga bagi mbok Ma, semua orang adalah kerabat, menggantikan kebutuhan akan kedekatan dengan cucu2nya, anak2nya. Secara ekonomi-pun, dia bisa hidup layak, karena sering terbantu oleh tetangga2nya. Yang seringkali, didesa penghitungan ekonomi memang tidak selalu untung/rugi. Sehingga dengan kemampuan seadanya, ada saja yang bisa dikerjakan oleh Mbok Ma, untuk dapat uang, dan dipakai makan sehari-hari.
Nah, orang seperti Mbok Ma ini tidak akan bisa bertahan kalau harus pindah ke desa lain. Dia bukan seperti anggota masyarakat urban yang bisa dengan mudah pindah dari satu kota ke kota lain, dari perumahan satu ke apartemen lain, dari satu komunitas ke lingkungan lain. Bukan pula seperti mereka yang punya pekerjaan di sektor formal atau keahlian multi sektor, sehingga ketika pindah ke lingkungan baru, tidak akan kesulitan sama sekali.
Mbok Ma butuh tinggal di desa Renokenongo, untuk hidup, untuk selamat dan untuk sejahtera di hari tuanya. Dan orang seperti Mbok Ma, atau bernasib sama dengan dia (pedagang nasi, toko kelontong, petani penggarap, dan banyak lainnya) jumlahnya ribuan, puluhan ribu bahkan. Dan kepentingan mereka sama sekali terabaikan oleh skema yang ditawarkan pemerintah, yang hanya menguntungkan Lapindo.
(bersambung ke bagian 2, tentang kenapa kami bertahan, dan apa tuntutan kami)
Website Korbanlapindo
Atas kebaikan kawan-kawan satudunia dan airputih, akhirnya korban lapindo bisa punya tempat yang lebih permanen di jagat maya. Website www.korbanlapindo.net hari minggu kemarin sudah bisa diakses, tanpa ekspos, tanpa publikasi, tetapi disertai semangat yang membuncah, namun tanpa jumawa.
Semangat untuk benar-benar bisa menjadi lawan tanding yang sepadan (meskipun jelas bukan sekelas), bagi media dan corong korporasi bernilai puluhan triliun rupiah. Mereka yang sedang mencoba dengan segala daya, untuk membuat silap dunia akan dosa sejarah yang mereka lakukan yang telah melukai hati dan penghidupan ratusan ribu rakyatDengan adanya wahana berupa situs internet ini, harapannya semakin banyak materi yang bisa ditampilkan kepada publik tentang bencana ini, dan bagaimana Lapindo dan Bakrie Group telah menelantarkan korban. Sehingga, sementara mereka dengan bebas melenggang mengembangkan bisnisnya, korban lapindo semakin terpuruk oleh ketidakpastian menghadapi masa depan.
Read More ..
Usulan konkret pemetaan resiko Lapindo
Salah seorang pakar tentang bencana dari ITS yang selama ini masih punya keberpihakan kepada korban Lapindo, mas Amien Widodo, menanggapi dengan konkret seruan SOS dari korbanlapindo tentang resiko bencana di sekitar wilayah semburan lumpur Lapindo. Dokumen teknis itu (disini)
menjelaskan dengan cukup detil apa yang bisa (dan seharusnya) dilakukan oleh pemerintah menghadapi bahaya yang mengancam korban yang masih tinggal di daerah rawan.
Sayangnya, yang gini2 ini (usulan/inisiatif dari untuk kebaikan warga, namun tidak mendatangkan proyek/duit) biasanya memang tidak menarik untuk dikerjakan pemerintah. Atau memang nunggu harus ada yang meninggal dulu baru pemerintah tergerak.
Moga-moga ada kawan2 yang peduli dengan nasib korban yang tergerak untuk membantu menangani hal ini, atau punya akses dengan lembaga yang relevan dengan upaya penanggulangan bencana, atau dengan donor yang biasa menangani hal semacam ini.
Moga-moga...
Rabu, 09 April 2008
SOS bahaya gas korban lapindo!!!
Membaca berita di Harian Kompas hari ini, tentang gas liar di dekat lumpur Lapindo, saya cuma bisa bergumam, betapa bebalnya pemerintah kita dalam menuntaskan masalah ini.
Entah apalagi yang bisa dilakukan guna mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang komprehensif menangani dampak ikutan dari semburan yang sudah berlangsung hampir 2 tahun ini. Apakah harus menunggu sampai para korban yang sudah demikian sengsara atau bahkan para pengguna jalan terbakar dan mati duluan, sampai mereka serius menangani.
Keluarnya gas yang mudah terbakar tersebut sekarang sudah sampai dalam taraf yang sangat membahayakan. Untuk diketahui, gas tersebut sudah keluar dari berbagai titik di tengah pemukiman warga. Karena tidak berbau (gas elpiji berbau karena dicampur dengan bahan kimia), maka warga kesulitan untuk mengidentifikasi dari mana saja gas itu keluar. Gas bisa dilihat dengan jelas ketika keluar dibawah sumber air. Sehingga, tahu-tahu saja , ketika mereka menyalakan korek api, whussh, api menyambar.
Anda lihat sendiri bagaimana posisi BPLS sebagai wakil pemerintah dalam menangani masalah ini. Cuma ”dipasang pita”, itu saja yang dibilang jubir BPLS, seusai dia mengatakan bahwa , ”gorong-gorong itu sudah berbahaya dan sangat mudah terbakar jika tersulut api.” Belum lagi kemungkinan bahwa ”yang menghirup bisa mati lemas”, kemungkinan yang sangat terbuka mengingat bahwa gas ini keluar di lingkungan pemukiman yang padat penduduk, bukan ditengah hutan atau di tengah laut.
Bagaimana pemerintah daerah menanggapi hal ini? Ya setali tiga uang, sama saja. Sama sekali tidak disiapkan apa langkah antisipatif bagi masyarakat yang tinggal di dekat lokasi semburan lumpur Lapindo. Kalau di daerah yang pernah terserang Tsunami ramai-ramai disiapkan early warning system dan rakyat disiagakan rencana evakuasi, padahal tsunami berikutnya bisa jadi masih puluhan tahun lagi, kenapa di Sidoarjo yang jelas-jelas ancaman bahaya fatal ini sedang terjadi, pemerintah malah tidak menyiapkan apa-apa?
Apa tidak pernah terjadi insiden? Pernah. Beberapa kali malah. Sekali seorang ibu yang akan menyulut kompor di dapur tiba-tiba terbakar hebat karena ada gas yang keluar dari dapurnya. Pernah juga terjadi kebakaran yang sangat besar dimana api sampai mencapai 5 meter dan butuh seharian penuh untuk memadamkan. Jadi, memang pemerintah mau menunggu bukti apalagi kalau masalah ini sudah sedemikian gawat?
Apa mesti mengulangi tragedi meledaknya pipa gas pertamina, November 2006 yang lalu, dimana jauh-jauh hari banyak pakar sudah mengingatkan akan bahayanya. Apa korban Lapindo harus pada meninggal dulu baru mendapat perhatian yang serius dari segenap aparat pemerintahan di negeri ini?
Saya hanya bisa menghimbau (mungkin menghiba?) kepada anda semua, warga bangsa yang masih punya kepedulian, tolonglah kami. Tolonglah kami mengorek kuping pemerintah yang sudah teramat sangat bebal ini. Siapapun anda, warga bangsa yang punya daya dan kemampuan, jangan biarkan kami musnah dalam kekonyolan sesat pikir dan tumpul nurani pengelola negeri ini.
(foto courtesy:Yudi)
Senin, 07 April 2008
Kisah Eef dan Lowie, dan anak2 korban lapindo
===
Eef dan Lowie (baca: if dan lui), demikian pasangan muda ini memperkenalkan diri, tengah dalam perjalanan keliling Indonesia ketika mereka mendengar tentang bencana Lapindo. Karena rasa ingin tahu, mereka kemudian mampir melihat-lihat ke lokasi semburan lumpur dalam perjalannya ke Bali.
Selepas melihat tanggul dan desa-desa yang tenggelam, mereka tanya tentang bagaimana nasib warga yang sebelumnya tinggal disana. Oleh pemandunya, mereka diarahkan ke Pasar baru Porong (selanjutnya sy sebut paspor), karena disanalah sebagian besar warga yang mengungsi masih tinggal.
Hal pertama yang menjadi pertanyaan mereka ketika berada di pasar adalah, bagaimana nasib anak2? Bagaimana sekolah mereka? Apakah mereka bisa bermain dengan normal? Dan berbagai pertanyaan seputar anak2, yang justru tidak pernah saya dengar dari pejabat ketika mereka datang ke Paspor.
Dari si guru yang menemui, mbak Lilik Kaminah, meluncurlah cerita tentang sekolah TK Paspor yang serba darurat dan ala kadarnya. Kurang lebih begini tutur mbak Kami, demikian dia biasa dipanggil :
Selepas lumpur menenggelamkan desa mereka (Desa Renokenongo), sebagian warga disana mengungsi ke paspor. Salah satu perhatian para orang tua yang mempunyai anak usia sekolah adalah, bagaimana nasib sekolah anak2 mereka, khususnya usia TK dan SD, yang sekolahan mereka ikut tenggelam oleh lumpur.
Ternyata di pengungsian Paspor, sarana pendidikan, seperti halnya dengan banyak kebutuhan lainnya, tidak disediakan oleh pemerintah maupun Lapindo. Setelah beberapa lama meminta dan menunggu tanpa ada kejelasan kapan akan disediakan fasilitas sekolah, akhirnya para orang tua mencari sendiri2 sekolah lain di desa terdekat.
Bagi anak usia SD maupun SMP, untuk pindah ke sekolah lain ini mungkin tidak masalah, karena mereka bisa berangkat sendiri. Disamping itu, proses adaptasi dengan teman2 sebaya dan guru2 yang baru dikenal juga relatif mudah. Namun bagi anak usia TK yang masih terlalu kecil terdapat beberapa kesulitan bagi mereka untuk pindah ke TK lain.
Orang tua tidak mungkin mereka melepas anak2 itu berangkat sendirian, sementara mengantar dan nungguin di sekolah juga sulit. Dalam banyak kasus juga sebagian dari mereka kesulitan untuk adaptasi dengan teman2 dan guru2 baru. Pada beberapa kasus ditemui bahwa teman2 baru mereka mengolok2 anak2 tersebut dengan, ”...hei anak lumpur,” atau ”hei anak Lapindo” atau ”hei anak pengungsi”, sehingga membuat anak2 korban itu jadi tertekan
Karena itu, setelah beberapa waktu, para warga pengungsi di Paspor memutuskan untuk membuka sendiri sekolah TK. Bagaimana dengan guru dan fasilitas sekolah? Guru diambil dari warga yang punya anak usia TK, yang tahu kira-kira cara mengelola sekolah TK dari mengamati selama mereka mengantar anak2 sekolah, dulunya sewaktu sebelum ada semburan lumpur.
Sedangkan peralatan dan buku2 diambil dari sumbangan, dan sebagian perabotan dibikin sendiri oleh warga. Maka demikianlah, sekolah TK paspor yang serba sukarela dan seadanya ini mulai berjalan dan mendidik sekitar 60 orang anak2.
= = =
Mendengar cerita ini, Eef dan Lewis menyatakan ingin melihat sekolah TK itu keesokan harinya (karena hari itu sudah sore, sehingga sekolah tutup). Kenapa mereka begitu tertarik dengan anak2 TK ini, pikir saya. Usut punya usut, ternyata mereka, khususnya si cewek, Eef adalah mahasiswi yang tengah belajar menjadi guru olahraga bagi anak2, dan tertarik dengan masalah-masalah pendidikan anak usia dini.
Dan di beberapa negara yg pernah mereka kunjungi, kerap mereka melakukan kegiatan dengan anak-anak usia prasekolah sampai sekolah dasar. ”Lalu bagaimana dengan faktor bahasa”, tanya saya, ”kalian kan gak bisa bahasa Indonesia, sedangkan anak2 itu gak mungkin ngomong Inggris.” ”Jangan khawatir, lihat saja sendiri,” tukas mereka.
Maka kemudian, ketika mereka kembali keesokan harinya, saya benar-benar terperangah. Ternyata mereka benar-benar bisa berinteraksi secara langsung dengan anak2 TK itu. Saya tentu saja tidak tahu apa yang ada dibenak anak2 TK itu terhadap dua bule tersebut. Apakah mereka menanggap dua orang itu londo edan, atau mereka merasa bahwa dua orang asing ini memang tulus bermain dengan mereka.
Yang jelas, mereka saling bermain, bernyanyi (yup, menyanyi...!) dan melakukan berbagai permainan yang mengedepankan unsur senang-senang dan olah raga. Ternyata untuk anak2 TK itu, betapa bahasa bukan menjadi halangan bagi mereka untuk bisa bersenang-senang dan bermain. Selama dua jam penuh sampai waktu sekolah habis, mereka masih asik bermain2.
= = =
Maka yang awalnya dua orang backpacker tadi cuman mampir dalam perjalanannya ke pulau Bali, menjadi tinggal selama beberapa hari dan berinteraksi dengan anak2 TK paspor. Yang awalnya dua orang turis bokek dan gak bawa duit, akhirnya membelikan seperangkat buku ajar dan alat2 peraga lainnya yang membantu berjalannya kelas dengan lebih baik.
Dan sayapun termangu ketika menyadari bahwa kenapa yang punya kepedulian semacam ini adalah 2 orang pengelana, dari ujung bumi, dan terjadi setelah anak2 TK itu ada disitu hampir setahun. Tidak adakah relawan-relawan di negeri ini yang bisa membantu sekolah TK kami yang serba darurat itu dan membantu dan mengajak anak2 kami bermain2, sehingga mereka bisa merasakan rasa kenormalan, barang sehari atau dua hari.
Atau, tidak seperti kepada si Eef dan Lowie, sedemikian sulitnyakah ternyata menggerakkan kepedulian anak bangsa sendiri terhadap kondisi-kondisi seperti yang dihadapi anak2 di Paspor.
Atau pembentukan opini dan kampanye yang dilakukan pemerintah dan pemodal bahwa Lapindo sudah bertanggungjawab, (termasuk menyediakan pendidikan bagi anak2 kami) sudah sedemikian merasuk, sehingga orang kemudian enggan membantu.
Atau jangan-jangan sesederhana bahwa karena publik memang tidak tahu ada situasi-situasi seperti ini di lapangan yang dialami korban lapindo, karena tersisihnya masalah ini dari hiruk pikuk isu lain yang lebih serius (ganti rugi, tanggul jebol, jalanan macet, dsb) dalam bencana multi dimensi ini. Atau, jangan...jangan...
Tau ah, bingung...
Tiba-tiba, mbak Kami, si guru dadakan tadi mendatangi dan sambatan ke saya. ”Mas, besok -besok ajak orang bule lagi ya, siapa tahu bisa bantu biaya foto dan buku raport anak2, sebab kalo ndak ada itu, nanti anak2 gak bisa nerusin ke SD." Sayapun cuman bisa garuk-garuk kepala. Nah lho....!
IIFFFFF... LUUIIIII... Ternyata mereka sudah kembali ke negerinya.
Dan TK kami masih di Pasar Porong, masih seperti setahun yang dulu, tetap sedikit yg peduli...
Tentang Ganti Rugi (1)
Dari awal terjadinya bencana Lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, wacana tentang ganti rugi telah mengalami distorsi sedemikian rupa. Distorsi ini mengakibatkan kesalahpahaman tentang apa yang terjadi, yang justru menguntungkan perusahaan dan merugikan warga.
Berikut beberapa distorsi yang paling sering muncul :
1. Bahwa warga korban lapindo sudah mendapat ganti rugi.
Di media massa kerap kali disampaikan bahwa Lapindo sudah mengganti kerugian yang dialami oleh warga akibat semburan lumpur. Sejalan dengan itu, Lapindo melalui PT Minarak Lapindo Jaya membuat dan memasang iklan yang cukup intensif untuk menunjukkan bahwa mereka sudah melaksanakan tanggung jawab kepada warga. Dan segendang sepermainan, BPLS dan pemerintah juga kerap mewartakan bahwa Lapindo sudah membayar ganti rugi.
2. Bahwa warga korban lapindo setelah dibayar, sekarang kaya raya
Skema pembayaran yang ditetapkan oleh Perpres adalah aset warga dibeli oleh Lapindo. Setelah pembayaran mendapat pembayaran berupa uang, sehingga sekarang kaya raya dan mulai bisa mendapat. Ini ditambah dengan pembandingan bahwa harga yang dibayar oleh Lapindo adalah lebih tinggi dari NJOP.
3. Warga yang terus menuntut Lapindo adalah karena mereka mengambil untung dan serakah. Hal ini terkait dengan poin nomor dua diatas, bahwa mestinya setelah dibayarkan ganti ruginya oleh Lapindo, warga seharusnya bersyukur dan berhenti berdemo2. Apalagi dibandingkan dengan korban bencana alam biasa, dimana ganti rugi hanya diberikan senilai 15 juta per keluarga
4. Lapindo sudah memberikan semua fasilitas yang diperlukan oleh korban
Dalam berbagai kesempatan, pihak Lapindo selalu mengemukakan bahwa mereka sudah menyediakan semua fasilitas dasar yang diperlukan oleh korban, mulai dari kesehatan, air bersih, pendidikan sampai pada penyediaan makanan untuk korban.
5. Lapindo meskipun belum jelas bersalah, sudah mengeluarkan dana miliaran bahkan triliunan rupiah untuk korban.
Berlarut-larutnya penyelidikan kasus Lapindo dan ditolaknya dua gugatan class action dari Walhi dan YLBHI kepada Lapindo seringkali dijadikan alasan Lapindo bahwa mereka tidak bersalah. Meskipun mereka tidak bersalah, namun toh Lapindo tetap peduli dan mengeluarkan biaya ratusan milyar bahkan triliunan rupiah lebih
Saya bahas satu persatu (sisanya dilanjutkan dalam bagian2 berikutnya)
1. Korban Lapindo sudah mendapat ganti rugi
Yang pertama perlu diklarifikasi adalah, TIDAK ADA yang namanya ganti rugi. Yang terjadi adalah proses jual beli aset korban (tanah, sawah dan bangunan). Dan korban disini adalah yang rumahnya masuk dalam peta terdampak (menurut tulisan saya sebelumnya, mereka adalah jenis korban kelompok 1)
Begini analoginya.
Ada bis yang entah kenapa nyeruduk serombongan pengendara motor. Sebagai bentuk pertanggungjawaban si pengemudi, seharusnya dia membiayai biaya perawatan dan penyembuhan para pengendara, lalu membetulkan kerusakan motornya ke bengkel, dan mungkin memberi sejumlah santunan sebagai ganti rugi atas ketidaknyamanan atau kehilangan waktu yang dialami tiap pengendara. Dan motor tetap dikembalikan kepada si pengendara tho?
Tetapi alih-alih melakukan semua hal diatas, si pengemudi mobil ini ternyata memilih untuk membeli motor yang ditabrak, dengan harga diatas harga pasar, tanpa mempedulikan luka diderita maupun kerugian yang dialami para pengendara. Dengan uang hasil pembelian itu, korban diharap mampu beli motor lain, juga mengobati sendiri lukanya dan mengganti kerugian lain yang timbul tadi.
Masalahnya kemudian adalah, terdapat beberapa jenis pengendara. Ada pengendara yang motornya keluaran terbaru, sehingga dihargai cukup mahal, namun ada juga yang motornya sudah butut, sehingga harganya juga murah. Kalau yang motornya baru tadi, mungkin memang akan cukup untuk beli motor baru, dan biaya pengobatan. Nah untuk yang motornya butut, jangan2 hanya untuk biaya pengobatan saja sudah habis duitnya.
Nah, ada yang lebih celaka lagi nasibya, yaitu adalah mereka yang naik motor pinjaman. Dengan skema tadi, yang dapat duit adalah yang punya motor. Sedangkan dia tidak dapat apa2, dan semakin babak belur karena keluar biaya sendiri untuk pengobatan. Yang untung malah si empunya motor dirumah, yang tidak ikut mengalami kecelakaan.
Usut punya usut, kabarnya kenapa si penabrak tadi memilih skema ini adalah karena ternyata dia punya bengkel reparasi motor. Sehingga, motor-motor yang ditabrak dan ringsek tadi, nantinya bisa diperbaiki lagi dan dijual sehingga mendatangkan untung. Jadi yang mestinya sekarang dia keluar duit dan merugi karena dia bersalah telah nabrak, malah potensial dapat untung.
= = =
Demikian juga dengan bencana lapindo ini. Tidak ada itu yang namanya ganti rugi. Oleh Perpres 14/2007, alih-alih membayar ganti rugi kepada warga, malah diperintahkan membeli sawah, tanah dan bangunan milik warga. Tidak peduli kerugian lain yang mereka alami, baik fisik (seperti kehilangan dan rusaknya perabot dan barang lainnya) maupun non fisik (penderitaan di pengungsian, kehilangan sumber pencaharian maupun pekerjaan, hidup yang tiba-tiba tercerabut dari lingkungan sosial dan budaya yang diakrabinya, dan sebagainya), Lapindo hanya bertanggungjawab membeli aset mereka.
Masalahnya, tidak semua orang mempunyai aset yang besar, sehingga ganti rugi tersebut hanya akan cukup untuk membeli aset di tempat yang lain. Sedangkan kehilangan barang, hutang yang harus diambil selama mengungsi, kehilangan pekerjaan, biaya pengobatan, tambahan biaya sekolah anak, dan sebagainya tidak dihitung. Apatah lagi kerugian yang bersifat immaterial.
Seperti analogi kecelakaan mobil nabrak motor diatas, yang paling merana nasibnya adalah kelompok warga yang tinggal disitu, namun tidak ikut memiliki aset, alias pengontrak atau penyewa. Meskipun mereka sudah bertahun-tahun (beberapa kasus bahkan puluhan tahun) tinggal disitu dan bekerja serta menjadi bagian dari warga, karena bukan pemilik aset, maka dia tidak dapat apa-apa. Yang mendapat pembayaran malah pemilik tanah yang bisa jadi orang dari luar daerah dan tidak mengalami dampak apa2 dari bencana ini.
Sekali lagi sesuai dengan analogi diatas, ternyata Lapindo tidak benar-benar ’rugi’. Dengan skema jual beli ini, mereka saat ini sudah menguasai tanah seluas hampir 700 ha, secara utuh dalam satu blok, diwilayah yang diperkirakan sangat kaya akan kandungan hidrokarbon. Dan dengan adanya pengembang besar PT Bakrieland Development, Tbk, bukan tidak mungkin bekas wilayah yg sekarang terendam lumpur ini, entah berapa tahun lagi akan disulap jadi kawasan industri atau hunian yang mahal (ingat perkembangan kawasan pantai Indah kapuk di Jakarta atau kawasan Pakuwon di Surabaya?). Jadi, duit yang keluar hari ini anggap saja investasi lahan properti masa depan.
= = =
Dari uraian diatas, bagaimana mungkin Lapindo sudah mengganti rugi korban???