Rabu, 26 Maret 2008

Korban Lapindo...!

Korban (mestinya) adalah istilah yang sangat sederhana. Orang yang menderita akibat sebuah peristiwa atau kejahatan. Kalau disebut korban banjir, orang langsung mahfum bahwa yang bersangkutan menderita akibat banjir. Kalau korban pencurian, orang juga dengan mudah paham bahwa dia menderita akibat barangnya ada yang mencuri.

Tetapi, tata bahasa yang sederhana ini ternyata tidak berlaku terhadap korban lapindo atau korban lumpur atau korban lumpur lapindo (demikian biasanya ditulis di media). Seperti halnya banyak faktor lainnya seputar bencana ini, istilah korban juga mengalami politisasi, dan menjadi komoditi.

Begini maksudnya. Korban dalam bencana lumpur lapindo ini sama sekali bukan terminologi sederhana. Kata korban tidak bisa dipakai untuk merujuk kategori atau kelompok orang tertentu. Kalau menggunakan tata bahasa diatas, korban lumpur atau korban lapindo (seharusnya) adalah (sesederhana) orang yang menderita akibat bencana lumpur.

Ternyata ada (paling tidak) 8 kategori korban dalam bencana Lapindo ini.

1. Warga yang tinggal di daerah yang termasuk dalam area Peta Terdampak sesuai dengan Perpres 14 2007, memiliki aset berupa tanah dan bangunan di situ dan menerima skema ”ganti rugi” ala Perpres.

Siapa saja mereka?
Mereka adalah warga dari 4 desa yang sudah tenggelam (Renokenongo, Jatirejo, Siring dan Kedungbendo), dan Perumtas I. Total jumlah mereka hampir mencapai 50 ribu orang. Saat ini, hampir semua mengontrak rumah di tempat lain, dan hidup terpisah-pisah dengan tetangga dan saudara. Mereka menerima skema pembayaran yang ditetapkan oleh Perpres, yaitu 20 – 80 persen. Sebagian besar sudah menerima pembayaran uang muka 20 persen, dan menunggu sisa pembayaran 80 persen dari Lapindo.


2. Warga yang tinggal di luar daerah Peta Terdampak, tetapi memiliki aset di dalam daerah peta terdampak.

Siapa saja mereka?
Sebagian besar dari mereka adalah pemilik rumah di Perumtas, yaitu warga Surabaya atau Sidoarjo yang membeli baik rumah maupun tanah, di wilayah selatan Sidoarjo untuk investasi. Atau bisa juga rumah tersebut oleh mereka di kontrakkan kepada orang lain. Untuk di desa, kelompok ini bisa berasal dari anggota keluarga yang sudah lama keluar dari desa dan bekerja di tempat lain, tetapi dia masih memiliki hak atas tanah maupun bangunan di daerah tersebut.
Bagi kelompok ini, bencana ini relatif tidak berdampak bagi kehidupan mereka. bahkan, pada beberapa kasus, mereka malah mendapat untung dari naiknya nilai jual dibanding pada saat mereka dulu membelinya. Jumlah korban yang masuk kategori kedua ini sulit dipastikan, tetapi berkisar ratusan KK (dihitung dari bidang tanah)

3. Warga yang tinggal di daerah Peta Terdampak, memiliki aset berupa tanah dan bangunan di situ namun tidak menerima skema ”ganti rugi” ala Perpres

Siapa saja mereka?
Warga yang menolak skema Perpres ini tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo menolak Kontrak (PagarRekontrak). Saat ini, jumlah mereka tinggal hanya sekitar 600 kk atau 2000 lebih jiwa, namun masih berkumpul sebagai satu anggota masyarakat yang utuh dan bertahan di pengungsian pasar baru Porong.
Alasan mereka menolak skema ”ganti rugi” ala perpres adalah karena skema tersebut justru akan semakin memiskinkan mereka, karena mereka tidak akan mampu membeli rumah baru. Dan sebagai warga yang terbiasa hidup di desa, prospek hidup terpisah-pisah dinilai akan sangat merugikan mereka. Karena itu mereka menuntut skema pembayaran yang lebih fair, disamping ganti rugi immateriil berupa 30 ha lahan yang akan dipakai tempat tinggal bersama mereka, seperti dahulu di desa Renokenongo

4. Warga yang tinggal di daerah Peta Terdampak, namun tidak memiliki aset disitu alias mengontrak

Siapa saja mereka?
Kelompok ini adalah warga yang tinggal di situ, tetapi dengan cara menyewa. Hak kepemilikan tanah atau bangunan yang mereka tempati adalah milik orang lain (kelompok no 2 diatas). Pada beberapa kasus, warga sudah menempati tempat tersebut bertahun-tahun, dan hidup dan menjadi warga di situ. Misalnya pemilik warung yang melayani pekerja pabrik selama berpuluh tahun. Dia membuka warung di lahan yang disewa dari orang lain. Dalam kelompok ini, ada juga kelompok warga pengontrak di Perumtas I. Jumlah total dari mereka mencapai ribuan orang, tetapi sulit mendapat angka pasti. Sebagian besar dari mereka tidak mendapat ganti kerugian apapun dari Lapindo.

5. Warga yang tidak tinggal di daerah Peta Terdampak, namun memiliki usaha dan hak guna bangunan di daerah Peta Terdampak

Siapa saja mereka?
Para pemilik kios di pasar buah yang ada di desa Jatirejo, dan pasar di Kedungbendo. Dalam skala yang berbeda, para pemilik pabrik yang berjumlah puluhan, dan mempekerjakan ribuan pekerja, baik dari daerah sekitar maupun dari luar kabupaten Sidoarjo. Posisi para pekerja tersebut juga hampir sama, karena mereka adalah pendatang, dan mengontrak atau kos di daerah tersebut. Sampai sekarang, dengan alasan penggantiannya menggunakan skema business to business atau B2B, proses negoisasi ganti ruginya masih sangat lamban.

6. Warga di luar daerah Peta Terdampak, tetapi sekarang daerahnya mengalami kerusakan yang sangat parah dan situasi kehidupan yang sangat tidak layak.

Siapa saja mereka?
Diluar wilayah yang sudah tenggelam, yaitu desa-desa di sekeliling tanggul, mengalami kondisi yang membahayakan sebagai dampak langsung dari semburan lumpur. Sebagian wilayah tanahnya sudah mengalami amblesan (land subsidence), bangunan retak-retak akibat struktur tanah yang terus bergeser, gas keluar dari berbagai titik di tengah-tengah pemukiman warga (beberapa bahkan di dalam bangunan tempat tinggal warga, sumur menghitam dan tidak bisa diminum, sawah sudah terendam dan ancaman aliran lumpur yang sewaktu-waktu akibat jebolnya tanggul.
Sampai saat ini, korban yang masuk kategori nomor enam ini sudah mencapai 12 desa di 3 kecamatan. Wilayah ini akan semakin meluas seiring dengan terus menyemburnya lumpur, sementara BPLS belum juga memfokuskan pada upaya menutup semburan. Saat ini, nasib mereka sangat tidak jelas, karena berdasar skema Perpres, wilayah yang diluar peta tidak ditanggung oleh Lapindo, tetapi oleh pemerintah. Padahal setelah satu tahun keluarnya Perpres tersebut, tidak ada kejelasan apapun mengenai bagaimana mekanismenya. Jumlah korban di kategori ke enam ini mencapai 60 sampai 80 ribu orang.

7. Warga di luar daerah Peta Terdampak, tetapi penghidupannya secara langsung terganggu oleh semburan lumpur

Siapa saja mereka?
Selain berdampak langsung ke wilayah yang berdekatan dengan pusat semburan, ada juga warga yang menjadi korban akibat penghidupannya terganggu semburan lumpur. Ratusan penambang pasir di sepanjang kali porong ke arah laut kehilangan mata pencahariannya karena lumpur menutupi dasar sungai. Ratusan pedagang di exit tol gempol gulung tikar akibat tidak berfungsinya jalan tol Surabaya Gempol, sehingga mereka terputus aksesnya kepada pembeli.
Ribuan petani tambak (khususnya penggarap yang disebut dengan pandega) terancam karena lumpur mematikan ikan dan udang. Puluhan ribu petani terancam gagal panen karena saluran irigasi terganggu dalam skala yang masif. Hampir sama nasibnya, ratusan pengusaha kecil tas dan koper Tanggulangin terancam gulung tikar karena persepsi yang keliru bahwa PerumTAS sudah tenggelam, wilayah mereka juga ikut tenggelam.
Nasib mereka sama sekali tidak jelas, karena Lapindo maupun pemerintah belum pernah sekalipun memperhatikan nasib mereka. Padahal, jumlah mereka sangat besar, dan dampak yang dialami akibat bencana ini juga sangat memukul usaha yang mereka jalankan.

8. Warga masyarakat lainnya korban tidak langsung akibat tersendatnya infrastruktur, transportasi dan berbagai dinamika diseputar masalah lumpur Lapindo

Siapa saja mereka?
Kategori yang paling ’ringan’ dari korban adalah, para pengguna jalan atau jasa yang melewati wilayah jalan raya Porong maupun ’bekas’ tol Surabaya Gempol. Begitu strategisnya wilayah yang tenggelam oleh lumpur ini, hampir semua sarana dan prasarana umum penting melewati daerah ini. Jalan tol, jalan raya nasional, rel kereta api, jaringan listrik Jawa Bali, pipa gas dan pipa PDAM dari pasuruan yang memasok kebutuhan kota terbesar di Jatim, Surabaya.
Kemacetan menjadi-jadi akibat jalan raya Porong tiba-tiba harus dibebani hampir empat kali kapasitas normal mereka. Belum lagi kalau ada tanggul yang jebol dan lumpur meluber ke jalan raya, maupun aksi demo warga korban yang menutup jalan raya Porong. Sehingga, lama perjalanan juga meningkat, dan biaya ekonomi yang dikeluarkan juga membengkak. Orang harus membiasakan diri untuk mengantisipasi tiba-tiba terjebak kemacetan berjam-jam di jalan. Pekerja yang bekerja di Surabaya dan harus pulang balik melewati wilayah ini harus siap dengan kedongkolan karena ingin segera pulang, namun tiba-tiba macet.
Selain para pengguna jalan dan komuter dari dan ke luar Surabaya, ketersendatan ini juga memukul perekonomian di wilayah-wilayah di selatan Sidoarjo, seperti Pasuruan ke timur dan Malang ke selatan, yang pada gilirannya juga Surabaya sebagai pusat perekonomian. Pendeknya, bisa dibilang sebagian besar wilayah dan rakyat Jawa Timur menjadi korban dari kategori terakhir ini. Ekonom dari Unair, Dr Tjuk K Sukiadi memperkirakan kerugian yang ditanggung Jawa Timur mencapai 68 triliun selama 5 tahun ke depan. Sementara Dr Kresnayana Yahya memperkirakan potensi kerugian ekonomi Jawa Timur akibat bencana ini adalah 300 miliar perhari.

Bisa dilihat kan, betapa tidak sederhananya istilah korban dalam bencana ini. Padahal, yang tidak disadari oleh sebagian besar publik adalah bahwa ketika pemerintah atau Lapindo menyebut korban, maka mereka adalah yang masuk dalam kategori golongan 1 dan 2. Sehingga ketika menyebut istilah 'ganti rugi', maka otomatis mereka juga mengacu ke kedua golongan diatas. Sedangkan yang lain gimana? NGGAK JELAS!!!

Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, mengapa Lapindo dan Pemerintah mau repot-repot 'memperjelas' kalau ’korban-korban’ lainnya tersebut diam saja.


Jadi, termasuk kategori korban yang manakah anda?