Minggu, 27 Juli 2008

Tentang Bang Ro'is dan Cak Nun

Jancuk...!”

Meskipun sudah sering, belakangan bahkan terlalu sering, mendengar umpatan khas arek itu, tak pelak saya benar-benar terperangah. Beberapa malam yang lalu, Bang Ro’is, demikian dia biasa kami panggil, tiba-tiba mengumpat di depan saya, dengan nada yang benar-benar menakutkan. Bukan menyerapahi saya tentunya, tapi melepas kesal atas apa yang tampaknya baru saja dia alami.

Onok opo Bang? La opo, sampeyan kok kemropok koyok ngono? Sik tas teko moro-moro kok misuh-misuh (Ada apaan, Bang? Kenapa nih, sampeyan kok meledak-meladak kayak begini? Baru datang kok langsung marah-marah)),” saya coba se-casual mungkin mengorek keterangan dari dia. Bang Ro’is, sambil mengatur nafas yang masih kelihatan tersengal-sengal, mulai bercerita. “Wanine mek interogasi rakyat. Lha Bakrie iku po'o coba interogasien. Hmm, apane? (Beraninya cuma menginterogasi rakyat. Kenapa tidak Bakrie, coba dia diinterogasi),” semprotnya masih dengan nada tinggi.

Sik talah, genah-genah, aku lak yo bingung seh ngrungokno crito sampeyan (Sebenter dulu, santai. Aku kan juga bingung mendengarkan cerita sampeyan),” saya coba lagi dengan nada seadem mungkin. “Sik, ngrokok iki sik (Sebentar, merokok dulu nih).” Saya sodorkan dan nyalakan rokok kretek yang kami sama-sama gemari. Setelah dua kali kebulan, saya coba ajak bicara lagi. “Sing diinterogasi iku sopo? Terus sopo sing nginterogasi? (Yang diinterogasi siapa? Terus yang menginterogasi juga siapa?)”

Tampaknya Bang Ro’is sudah lumayan tenang. Sambil menikmati rokok kretek, dia pun mulai cerita. Ternyata dia baru saja diapeli dua orang intel, pas lagi nongkrong di Posko Desa Siring. Ihwal mulanya adalah spanduk yang dia pasang di pinggir Jalan Raya Porong, yang isinya Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) adalah kelompok pengecut dan pengkhianat warga. Sementara, di bagian bawah spanduk, tidak seperti lazimnya spanduk yang mencamtumkan nama lembaga atau kelompok, tercantum dengan jelas satu-satunya tanda tangan: Bang Ro’is, Desa Siring.

Karena spanduk itulah, kedua intel itu mendatangi Bang Ro’is, dan menanyai dia macam-macam. Mulai dari kenapa dia memasang spanduk itu, kenapa ada posko warga, kenapa enggak mau ikut resettlement seperti yang ditawarkan Lapindo, sampai kenapa ada poster almarhum Cak Munir dan majalah-majalah dari Kontras di posko warga.

Lha, pancen Munir mbelani wong cilik kok. Salah tah masang gambare. (Lha memang Munir membela wong cilik kok. Apa salah memasang gambarnya?)” terang Bang Ro’is kepada kedua intel itu. “Minggu wingi aku teko Jakarta ketemu ambek wakeh LSM sing mbelani korban, terus mulihe mampir nang kantore Kontras. Opo'o lek aku digawani majalah? (Minggu kemarin saya datang ke Jakarta, bertemu banyak teman LSM yang membela korban. Lalu pulang mampir kantor Kontras. Memang salah kalau saya dibawain majalah?)

Masih dengan nada yang tidak ada ketakutan sedikit pun, Bang Ro’is bahkan menantang intel-intel itu untuk menangkap dia kalau memang dia dianggap bersalah. “Ayo, gowoen ae aku. Malah seneng aku, tak buka' blak kabeh engko nang Polda. Ojo tanggung-tanggung lek arep nyekel aku. Gak bakalan aku mblayu, hmmm, iki lho Bang Ro’is, mbelani wong cilik (Ayo, ambil saja saya. Justru saya senang, saya buka habis-habisan nanti di Polda. Tidak usah tanggung-tanggung kalau mau menangkap saya. Saya tidak bakal lari. Ini lho Bang Ro’is, membela wong cilik.),” terangnya sambil tergelak, karena menurut dia, setelah itu kedua intel itupun ngeloyor pergi.

”Lha iyo,” selidik saya, “sampeyan kok wani-wanine ngomong GKLL iku pengecut dan pengkhianat, dasare iku opo? Sampeyan nduwe buktine tah? (Lha iya, sampeyan kok berani-beraninya bilang GKLL pengecut dan pengkhianat, apa dasarnya?)” Ternyata saya melontarkan pertanyaan yang keliru (atau malah justru tepat?).

“Koen iku yo opo seh,” karena nada suaranya tiba-tiba meninggi lagi, “kabeh wong sak Porong iki ngerti lek poro pentholane GKLL iku bajingan kabeh. Podho ae ambek Minarak ambek Andi Darussalam iku. Lha, termasuk Nun barang iku yo pengkhianat warga pisan (Kau ini gimana sih. Semua orang di Porong tahu kalau pimpinan GKLL itu bajingan semua. Sama saja dengan Minarak, sama saja dengan Andi Darussalam. Lha, termasuk Nun itu, dia juga pengkhianat warga).” Cukup terperangah juga aku mendengar kata-katanya yang terakhir.

Sopo Bang?" tanya saya, agak tidak yakin dengan kata “Nun” yang saya dengar. Dalam hati, kalau orang yang dekat dengan GKLL, Nun yang dimaksud berarti kan Emha Ainun Nadjib. Lha bukannya Cak Nun katanya membela warga korban lumpur? Ini mesti ada yang enggak beres, saya pikir. “Nun sopo seh?” Saya coba memastikan kecurigaan saya.

Lha sopo maneh. Yo Ainun Nadjib iku. Jarene ae mbelani rakyat. Sampek wong-wong akeh disumpah-sumpah koyok maling. Saiki dekne dewe sing dadi garong. Coba lek wani mreneo, sak iki ngadepi wong korban lumpur. Lek wani kene disumpah wong akeh lek de’e gak mlokotho awak-awak ndewe iki (Lha siapa lagi. Ya Ainun Nadjib itu. Katanya saja membela rakyat. Sehingga semua orang disumpah seperti maling. Sekarang, dia sendiri yang jadi garong. Coba kalau berani, ke sini, sekarang hadapi warga korban lumpur. Kalau berani, ke sini, disumpah orang banyak jika dia tidak membohongi kita-kita ini),” sembur Bang Ro’is, dengan nada semakin menakutkan.

Ya ampun, gumam saya, kok Cak Nun yang dulu kata koran dipuja-puja sebagai 'pahlawan' korban lumpur itu, kok berubah menjadi garong dan disamakan kebejatannya dengan Lapindo dan Andi Darussalam. Saya coba membantah, masih tidak percaya dengan kata-kata Bang Ro’is.“Sik ta lah, sampeyan ojo sembarang nuduh uwong lho ya. Opo maneh wong alim, kuwalat temenan lho (Sebentar dulu, sampeyan jangan sembarangan menuduh orang lho, ya. Apalagi, ini orang alim. Kuwalat lho nanti.).

”Kuwalat telek kocing. Yo Nun iku sing engko kuwalat. Kedosan ambek wong-wong Darjo. Heng, iki lho deloken dewe surat-surat iki. Opo ngene iki jenenge lek gak dhobol (Kuwalat tahi kucing. Ya Nun itu yang nanti kuwalat. Karena berdosa kepada orang Sidoarjo. Nih, lihat sendiri surat-surat ini. Apalagi namanya begini ini kalau tidak brengsek),” Bang Ro’is, bersungut-sungut, sambil membanting segepok berkas di dalam map plastik yang dari tadi dia tenteng.

Di dalam berkas-berkas itu, ada kronologis, bagaimana dari awal warga sudah diyakinkan oleh Cak Nun bahwa Lapindo akan membeli tanah dan bangunan mereka, meskipun mereka hanya memegang bukti kepemilikan Letter C, Pethok D atau SK Gogol. Bahkan untuk meyakinkan para pihak, warga sampai harus disumpah bahwa luas bangunan mereka adalah sebenar-benarnya yang ada di berkas pengajuan.

Yang saya baru tahu, untuk mengurus proses pencairan uang muka 20 persen itu, ternyata warga dikutip biaya2 yang besarnya bervariasi mulai dari 1 persen dari nilai aset dan bangunan mereka. Dan yang membuat saya benar-benar terperangah adalah adanya berkas laporan keuangan dari masing-masing koordinator desa bahwa mereka 'menyetor' 30 juta kepada Cak Nun dan hal itu disampaikan dan ada bukti pengeluarannya ditunjukkan secara terbuka kepada warga.

Halah, ini beneran apa ngarang sih. Aku baru mau mengkonfirmasikan hal itu kepada dia, namun langsung di potong, "sik, woco'en kabeh, cekne koen percoyo. Cekne gak dibujuki koran ambek TV ae." (Tunggu dulu, baca dulu semuanya, biar kamu percaya. Biar tidak selalu dibohongi koran dan TV). Aku pun langsung melanjutkan memelototi satu persatu berkas-berkas itu. Ada surat kuasa kepada Cak Nun, ada data rekapan per desa dari warga yang memberi mandat kepada Cak Nun, ada berkas surat yang pakai cap jempol.

Aku pun langsung teringat pembicaraan telepon dengan Cak Nun beberapa bulan silam ketika aku menanyakan, kok Cak Nun mengaku dimandati 94% korban lumpur, atau berjumlah 45 ribuan warga. "Lha sampeyan carane ngerti teko endi?" (Anda tahunya dari mana), tanyaku waktu itu. "Lho, yo enek surate Win, lek nggak moso aku yo wani ngaku2 ngono?", (Ya ada suratnya Win, sebab kalau tidak begitu, masa saya berani mengaku-ngaku), jelas Cak Nun. "Petangpuluh ewu surat?"(empat puluh ribu surat?), kejarku belum yakin.

"Yo dudu jumlah jiwa rek, tapi berdasar KK (bukan jiwa, tapi KK)," tambah Cak Nun. Masih belum percaya, aku teruskan, "Telulas ewu surat kuasa Cak (Sebanyak 13ribu surat, Cak)?" menyebut kira-kira jumlah KK yang menjadi korban. "Yo gak telulas ewu surat tak cekel kabeh, tapi enek rekapane teko arek-arek (para koordinator GKLL, maksudnya) iku”. (Ya ndak semua tiga belas ribu surat diserahkan aku., tapi ada rekapannya di anak2 GKLL)

Saat itu aku sudah bilang ke Cak Nun, "Lho sampeyan kok wani-wanine ilo percoyo ambek sing ngunu iku."(Kok berani percaya dengan yang seperti itu?) Aku mencoba menjelaskan kemungkinan adanya kemungkinan manipulasi dari para pimpinan itu terhadap keinginan sebagian besar warga. "Lek sak ngertiku cak, karena aku yo wong ndeso, wong-wong ndeso iku karepe gak koyo sing disampekno arek2 iku," (setahuku, karena aku juga dari desa, orang-orang desa itu tuntutannya tidak seperti yang disampaikan anak2 GKLL itu).

"Lan maneh, kit kapan sing jenenge wong ndeso iku kabeh ngerti surat-suratan. Lha wong moco nulis ae akeh sing nol pothol."(Lagipula, mulai kapan orang-orang desa semua bisa membuat surat. Baca tulis aja tidak bisa), kunyatakan keyakinanku. Pada saat itu, Cak Nun mengajak aku dipertemukan langsung dengan tokoh2 GKLL untuk mengklarifikasi kecurigaan2ku tadi. Tapi entah kenapa, pertemuan itu tidak pernah terjadi, dan Cak Nun sekarang diserapahi (paling tidak menurut Bang Ro’is) oleh ribuan orang Sidoarjo.

Aku jengah juga mbayangin hal itu. Sebab meskipun tidak dekat, tapi aku bisa dibilang pernah kenal dengan Cak Nun dan juga anaknya. Kalau Bakrie disumpah serapah, dido’ain yang jelek, anak keturunannya tidak akan bahagia, aku sudah terlalu sering dengar. Dan demi melihat perilaku mereka, gimana aku tidak memihak korban.

Tapi mbayangin Cak Nun, atau Mbak Novia, atau Noe atau calon istri atau anaknya kelak, ikut-ikutan disumpahin ribuan korban lumpur, aku ngeri sendiri. Padahal katanya do’a orang yang teraniaya akan mujarab. Gimana kalau sampai misalnya, mengutip balesan sms Cak Nun kepada orang2 yang dulu menuduh dia macem2, akibat do’a orang yang teraniaya itu, anak turune Cak Nun beneran cangkem-e pethot, sikile pethor. Masya Allah


Kembali ke berkas-berkas yang aku pelototi semalam, keraguan dan kecurigaan lamaku tentang kabar mandat memandati Cak Nun itu sedikit banyak terjawab. Meskipun itu juga menimbulkan beban pikiran yang baru. Ada uang 30 juta dari masing-masing desa untuk Cak Nun. Ada bukti pengeluaran, dan warga meyakini selama berbulan-bulan ini (kan gak ada klarifikasi apapun dari dia) bahwa Cak Nun sudah menerima uang dari mereka.

Sebagai bentuk tanda terima kasih memang, tapi juga sebagai persekot. Untuk apa? Ya agar Cak Nun membantu memuluskan pelunasan sisa pembayaran yang 80 persen, yang mestinya mulai jatuh tempo bulan April-Mei 2008 yang lalu.

Tetapi kemudian kan Lapindo mulai bermanuver. Mulai menyiapkan lahan untuk membangun perumahan yang nantinya akan dijual secara paksa kepada warga. Dibingkai sehalus mungkin sampai bahkan semua pejabat kompak meyakinkan, warga akan dibayar tunai. Perumahan yang dijual Lapindo hanya untuk yang bersedia, dan tidak akan ada paksaan.

Mendekati saat-saat pelunasan, tidak kunjung jelas juga bagaimana mekanisme pelunasan akan dilakukan. Yang muncul malah Lapindo kian gencar mempublikasikan di media massa, bahwa mereka tengah menyiapkan perumahan bagi korban lumpur Lapindo. Betapa ber-budi-nya. Tidak terbukti bersalah, tetapi menyediakan rumah kepada korban, lebih bagus lagi kualitasnya. Coba kurang apa.

Tapi warga sudah kenyang dengan muslihat licik dan akal bulus Lapindo. Warga merapatkan barisan, berkonsolidasi antar korban yang berkepentingan sama, dan kemudian membentuk Gabungan Korban Lumpur Lapindo. Wah, agak tenang nih, pikir sebagian besar warga, ada organisasi yang mewakili. Dan satu lagi yang membuat warga semakin tenang, kan masih ada Cak Nun. Pahlawan pembela korban, yang bisa membuat Presiden menangis 3 kali dan dilanjutkan dengan berkantor di Juanda selama 3 hari .

Dibikinlah lagi mandat baru kepada Cak Nun, untuk membantu penyelesaian pembayaran 80 persen. Disertai dengan sebuah ikrar dan perikatan sumpah, tidak akan ridha dunia akhirat kalau Lapindo tidak membayar. Cak Nun ternyata menerima amanah maha berat itu (atau paling tidak bagi warga, Cak Nun tidak menolak). Maka pungutan pun dikutip lagi (entah untuk apa karena di tahapan ini mestinya sudah tidak perlu lagi pengurusan berkas2).

Istighotsah, kebulatan tekad, sampai dipaksa beli kaos yang kemahalan dilakukan oleh warga demi menuntut pembayaran sisa 80 persen. Sementara Lapindo sudah semakin jelas dan mengerucut tidak akan membayar sisa 80 persen bagi aset yang tidak bersertifikat (lalu kenapa dulu mereka mau membayar yang 20 persen kalau memang non sertifikat tidak sah). “Gak mungkin nek Nun gak paham sing ngono-ngono iku, wong de’e sing mimpin” (tidak mungkin Nun tidak mengetahui hal-hal itu, sebab dia yang memimpin), sungut Bang Ro’is

Masih saja ada kelit yang bisa diambil Lapindo. Karena kami baik hati, biarlah yang 20 persen itu dianggap sebagai hadiah kepada korban. Gila. Tetapi toh tidak ada yang mengomentari. Ya memang tidak banyak yang tahu, wong media juga bungkam, dan termakan pi-ar Lapindo yang yahud punya.

Sampai kemudian, hanya beberapa hari setelah peringatan 2 tahun semburan lumpur yang ditandai dengan penguatan tekad menuntut pembayaran tunai, muncul surat yang paling sakti dalam sejarah negeri ini. Selembar surat pernyataan yang ditandatangani direktur sebuah perusahaan yang tidak riil, dengan beberapa 'perwakilan' warga, disaksikan oleh Cak Nun, mengalahkan Perpres, Keputusan MA, dan SK Kepala BPN pusat.

Belum sempat warga pulih dari kekagetannya akibat perwakilan dan ‘pahlawan’nya tiba2 mengkhianati mereka, mereka dihadapkan pada ultimatum ala deklarasi perang melawan teroris dari George W. Bush. You're either with us or against us. "Sampeyan arep melu GKLL nurut karepe Lapindo opo milih gak dibayar?" Kira-kira begitu yang disampaikan para operator lapangan mereka, yang kian menambah kepanikan warga.

Pada situasi seperti itu, kok ya Lapindo masih bisa jualan kecap dengan acara peresmian perumahan (yang hanya berjumlah 11 biji) sekaligus penyerahan kunci rumah (literary benar2 hanya kunci). Yang muncul, berita Aburizal Bakrie (yang datang ke Sidoarjo sembunyi2 ala tikus got, demi seuntai publisitas) merangkul warga yang penuh rasa terima kasih bahagia karena mendapat rumah yang jauh lebih baik dari rumahnya di desa, dengan tulisan besar2, JANJI ITU AKHIRNYA TERWUJUD!!! Entah apalagi yang bisa dibilang.

Dan pada saat warga sudah sedemikian terpuruk, tidak ada kabar apapun mengenai surat mandat yang diberikan kepada Cak Nun. Tidak ada upaya apapun untuk mempertanggung- jawabkan mandat yang sudah diberikan oleh rakyat yang sudah berada di titik nadir itu. Ataupun sekedar penjelasan atau tegur sapa, yang katanya diajarkan agama.

Aku menyelesaikan membaca berkas-berkas itu, melihat dengan tatapan hampir tidak percaya ke arah Bang Ro'is. Seolah menegaskan, Bang Ro’is menutup, "Iyo kan, ngerti kan sak iki? Lek wes ngerti ngene, lek jaremu kiro2 yo opo? Opo gak pancen bajingan kabeh, cekne tego2ne mangan daginge rakyat Darjo sing wes gak nduwe opo2 ngene iki" (Betul kan, paham kan kamu sekarang. Kalau sudah paham, menurutmu kira-kira gimana? Apa tidak memang bajingan semua. Kok bisa tega makan daging rakyat Sidoarjo yang sudah tidak punya apap-apa lagi)

Aku hanya diam, dan bergumam pelan. Melakukan hal yang paling lazim yang biasa dilakukan manusia didalam ketidakberdayaan.

-Duh gusti, nedi sepunten menawi kulo pun dzolim lan mboten saged ningali kesaeyan tiyang. Ugi menawi kulo sampun suudzon kaliyan dulur sing niyate sae. Tapi mungguho dipun paringi keadilan dumateng sinten kemawon kang damel puluwan ewu dulur2 kulo teng Darjo ngalami penderitaan ingkang mekaten awrate!!!- (Ya Tuhan, ma’afkan hambamu ini seandainya saya telah sudah berlaku dzalim kepada orang lain, dan tidak mampu melihat kebaikan orang. Juga seandainya saya sudah berburuk sangka kepada saudara yang berniat baik. Tapi saya juga mohon keadilan-Mu bagi siapapun yang menyebabkan puluhan ribu saudara-saudara di Sidoarjo mengalami penderitaan yang sedemikian tak tertahankan)

Saya terdiam sejenak menyerapi do'a singkat itu, mencoba mendinginkan hati dan berusaha arif dan legowo. Meski akhirnya tetap saja tidak tertahankan desakan itu,

" JANCUK...!!!"

Catatan Tambahan :

1. Poin 5 nota kesepahaman MLJ dan GKLL yang disaksikan Cak Nun berbunyi : “PT Minarak Lapindo Jaya tidak akan melaksanakan pembayaran cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemililikannya Pethok D/Letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apa pun.”

Padahal hanya bilangan minggu sebelumnya, Cak Nun menerima mandat dari ribuan korban agar memperjuangkan pembayaran tunai untuk sisa pembayaran 80 persen yang segera akan jatuh tempo

2. Pada tanggal 16 Juli 2008 dalam sebuah acara yang bertajuk Diskusi Evaluasi Tim TP2LS DPR terhadap program cash and resettlement dari MLJ (yang entah kenapa lolos dari liputan hampir semua media), Cak Nun dikutip Tribun dan dimuat di website padhangmbulan.com, mengatakan :

”Mereka yang dibayar 20 persen saja sudah makmur apalagi kalau sampai sisa pembayaran 80 persen dibayar. Padahal, apa yang sebenarnya terjadi pada Lapindo, wong belum ada yang diputuskan bersalah tapi sudah dibayar ganti rugi. Ibarat kata, Lapindo itu sudah memberikan sadakoh kepada warga," katanya.

Pernyataan yang tidak hanya melukai perasaan korban, tetapi membuat beberapa warga yang saya temui menyatakan niatnya untuk mampu membunuh.

Foto Emha dari http://kapanlagi.com/

Read More ..

Kamis, 17 Juli 2008

SOS ! Korban Lapindo Terpapar PAH 2000 Kali Diatas Ambang Normal

Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang kawan dari Walhi Jawa Timur. Dia bercerita bahwa Walhi baru saja melakukan kajian terhadap kandungan berbagai zat yang ada di dalam lumpur, yang kemungkinan membahayakan. Dan hasil temuan dari kawan2 di Walhi tadi benar-benar membuat saya terperangah. Ternyata selama dua tahun ini korban Lapindo secara tidak sadar sudah teracuni oleh gas berbahaya yang bernama PAH.

b
Bahwa semburan lumpur menyebabkan juga keluarnya berbagai gas yang baunya sangat menyengat, saya sudah mahfum sejak lama. Pun ketika banyak orang mengalami berbagai macam gangguan, mulai dari pernafasan sampai kesehatan kulit, hampir semua orang menganggap sebagai hal yang biasa dialami oleh para korban lumpur. Dugaan saya dan hampir semua orang di Sidoarjo tentang hal ini, karena kandungan gas yang berbau
sangat menyengat tadi yang membuat pernafasan jadi terganggu.
Lebih dari itu tidak. Toh, Lapindo juga menyewa perusahaan yang memantau keluarnya gas di sekitar area semburan. Selama ini, sebagian besar temuan mereka adalah adanya jenis gas yang mudah terbakar, bukan yang membahayakan kesehatan. Pun juga pemerintah sudah beberapa kali melakukan pemantauan terhadap kandungan gas di dalam lumpur dan
disekitar lokasi. Meskipun pernah dikabarkan bahwa polisi diberikan peralatan tambahan masker dan suplai oksigen, saya berpikir bahwa ini sekedar untuk mencegah dampak terhadap saluran pernafasan. Bahkan WHO sendiri sudah pernah melakukan kajian di lapangan pada tahun 2006, dan tidak menyebut adanya kandungan yang berbahaya.
Maka, betapa terkejutnya saya ketika kawan2 Walhi menyebutkan bahwa studi mereka menemukan adanya konsentrasi Policyclic Aromatic Hydrocarbons di dalam lumpur Lapindo. Lebih membuat saya kaget sekaligus sangat marah adalah, ternyata menurut aturan (Depkes maupun standard EPA), konsentrasi PAH yang ditemukan di lokasi adalah 2000 kali di atas ambang normal. Ma'af, saya mengetik angka dengan benar. 2000 kali lipat!
PAH atau Polyciclic Aromatic Hydrocarbon ini merupakan senyawa kimia yang terbentuk akibat proses pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil. United Nations Environment Programme menyebutkan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik. Ia tidak menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker secara langsung. Tapi dalam sistem metabolisme tubuh akan diubah menjadi senyawa alkylating
dihydrodiol epoxides, yang sangat reaktif dan berpotensi menyebabkan tumor dan resiko kanker.
PAH juga bisa berakibat kanker paru-paru, kanker kulit dan kanker kandung kemih. PAH dapat masuk dalam tubuh manusia melalui pernafasan akibat menghirup asap rokok, asap pabrik yang menghasilkan limbah gas dengan banyak senyawa PAH di dalamnya, makanan atau minuman yang terkontaminasi senyawa ini. Misalnya memakan ikan yang hidup dalam air yang terkontaminasi senyawa ini, berinteraksi secara langsung dengan menyentuh tanah atau air yang tercemar PAH, dimana senyawa ini terserap melalui pori-pori kulit walaupun kadarnya rendah.
PAH tidak larut dalam air, beberapa PAH terlarut ringan, tetapi terikat pada partikel kecil dapat mengalami fotodekomposisi. Belum pernah diketahui efek menghirup PAH dalam dosis tinggi secara langsung. Kontak langsung dengan kulit dapat menyebabkan kulit merah, iritasi, dan melepuh. Efek kesehatan dapat diketahui beberapa tahun
setelah PAH terakumulasi dalam tubuh, antara lain dapat menyebabkan kanker, permasalahan reproduksi, dan membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit.
***
Karena itu, dalam standar industri, adanya paparan terhadap PAH harus diimbangi dengan berbagai macam persiapan. Minimal waktu terpapar, perlengkapan bantu, juga perawatan berkala. Lha ini di Sidoarjo, selama 2 tahun terakhir ini, masyarakat ternyata tanpa disadari terpapar oleh PAH hampir sepanjang hari, tanpa alat bantu dan
perawatan sama sekali, dengan dosis yang sedemikian tinggi. Saya benar-benar ngeri membayangkan apa yang nantinya akan terjadi pada diri saya, anak dan keluarga saya, dan juga ratusan ribu masyarakat di Sidoarjo lain.
Apakah temuan Walhi tadi benar? Saya tidak melihat kawan saya tadi sedang bercanda, meskipun saya juga tidak mempunyai kapasitas keilmuan untuk membenarkan studi itu. Tetapi naluri saya juga berkata bahwa kawan saya itu memang sangat serius. Karena itu, saya menulis ini, untuk meminta tolong dan bantuan kepada anda semua. Terutama
mereka yang berlatarbelakang keilmuan Kimia atau kesehatan atau bidang lain yang relevan, untuk membantu memverifikasi studi itu.
Saya punya copy document-nya lengkap, dan dengan senang hati akan saya kirim ke kawans yang berminat membantu. Saya ingin mendapatkan gambaran yang cukup jelas, mengenai apakah metodologinya benar, apakah data2nya valid, dan apakah kesimpulannya tidak mengada-ada. Dengan sangat, saya memohon, kalau bisa secepatnya. Sebab kalau
ternyata temuan itu benar, kiranya sudah terlalu lama dan mungkin sudah terlampau parah dampak yang kami alami akibat PAH ini. Perlu dilakukan segera langkah2 yang masif karena ratusan ribu orang benar-benar masih hidup dalam radius paparan gas tersebut.
Sekali lagi, sebagai sesama warga bangsa, dan sesama manusia, saya minta tolong. Kalau anda mempunyai keahlian, atau mengenal orang atau lembaga yang mempunyai keahlian di bidang ini, tolong hubungi saya secepatnya.

Read More ..

Senin, 07 Juli 2008

Permaluan Umum bagi Simpatisan Lapindo


Tadi pagi saya menerima salah satu posting dari salah satu milis yang saya langgani. Isinya sebuah artikel yang dimuat harian Media Indonesia yang isinya membuat saya, lagi-lagi, harus mengurut dada karena prihatin sekaligus geram. Artikel tersebut diberi judul “Kembalinya Sebuah Kehidupan di Sidoarjo”. Penulisnya bernama Nico Wattimena, seorang Dosen Pasca Sarjana Stikom, London School of Public Relations. Sayapun mBatin, persediaan lonte intelektual dalam masalah Lapindo ini memang tidak ada habisnya.
Yang ditulis oleh sang pakar, menurut saya, tidak lebih adalah bentuk advertorial Lapindo dalam versi yang lain. Kalau sebelumnya, Grup Bakrie masih cukup jantan untuk memberi label iklan mereka yang dipampang di media, kini tidak lagi. ‘Iklan’ itu muncul dalam bentuk artikel, di sebuah kolom opini di media nasional, dan ditulis oleh seorang dosen pascasarjana.
Isinya benar-benar senafas dengan berbagai macam advertorial Lapindo yang sudah muncul terlebih dahulu. Logika berpikir yang selalu coba dibangun adalah Lapindo yang tidak bersalah dalam kasus semburan Lumpur Sidoarjo, namun tetap punya kepedulian tinggi, sehingga terus mengupayakan yang terbaik bagi korban Lumpur. Maka solusi terakhir yang ditawarkan oleh Lapindo benar-benar jalan keluar terbaik bagi korban Lumpur.

Sedangkan pola-pola penulisan yang muncul juga tetap konsisten, yaitu antara lain :
- Penyebutan Lumpur Sidoarjo, alih-alih Lumpur Lapindo
- Semburan Lumpur akibat gempa
- Pengadilan sudah membuktikan lapindo tidak bersalah
- Meski begitu Lapindo tetap bertanggungjawab dengan memberi ganti rugi
- Solusi apapun yang ditawarkan adalah semata-mata demi kepentingan korban
- Dan sebagainya (silahkan ahli media melakukan analisa terhadap ’iklan-iklan’ Lapindo, baik yang terbuka maupun terselubung seperti artikel ini. Saya punya dokumentasinya kalau ada yang bisa membantu)

Saya tidak kenal dan sama sekali tidak tahu apa latar belakang Nico Wattimena ini. Tetapi apa yang dilakukannya benar-benar menginjak-injak rasa keadilan dan mengeksploitasi penderitaan Korban Lapindo. Apakah seorang Dosen Pasca Sarjana, dari sebuah kampus ternama, tidak bisa cari makan yang lain selain makan dari bangkai kehidupan rakyat Sidoarjo yang sudah hancur luluh oleh lumpur. Apa tidak ada lagi cara lain yang lebih bermartabat untuk mengais rejeki. Entah apalagi yang bisa dikata kepada orang semacam ini.
Atau lebih tepatnya, orang-orang semacam ini. Sebab, banyak sekali orang/tokoh yang tampaknya menangguk kotornya uang lumpur. Sekumpulan ahli geologi yang dengan mengalahkan logika keilmuan dan komunitas mereka sendiri menjadi ’staf ahli’ Lapindo. Sekumpulan ilmuwan di Unair yang menjadi penggawang media corong Lapindo. Media yang memuat advertorial terselubung (acara ’dialog khusus’ di TV yang iklan juga), dan yang sudah ter’sensor’ oleh modal sedemikian rupa. ’Kyai’ yang menyumpah korban demi memberi harapan palsu, dan sekarang meninggalkan ribuan korban yang dulu sangat tergantung kepada dia. Para panelis dalam debat terbuka cagub Jatim, yang mestinya sangat paham bahwa lumpur Lapindo adalah masalah terbesar Jatim dalam 5 tahun ke depan, namun entah kenapa seolah-olah lupa menanyakan kepada para cagub tentang hal itu. Dan kiranya masih banyak lagi.
Saya sampai pada kesimpulan ini, karena tidak ada lagi logika manusiawi yang bisa menjelaskan motivasi apa yang mereka lakukan. Selain bahwa karena memang mereka termasuk orang yang tidak akan malu mengaca di pagi hari demi melihat tampangnya adalah muka yang menginjak2 Korban Lapindo. Atau tidak akan merasa jengah demi memberi makan anak istrinya uang yang didapat dari menjual penderitaan dan kesengsaraan korban lumpur Lapindo. Oh rindunya saya dengan Romo Frans Magnis Suseno, demi mengingat hal itu. Atau juga dengan para pendiri republik ini, yang pasti akan memperjuangkan nasib rakyatnya, sepenuh hati.
Dalam situasi dimana hukum dan negara tidak mampu mengadili hal-hal seperti ini, maka revolusi seringkali menjadi dambaan. Namun sebelum itu dilakukan, saya ingat salah satu isi dari pembaca menulis di salah satu media yang saya baca. Kita permalukan saja mereka di depan publik. Pemaluan publik (public humiliating) ini banyak bentuknya, tapi saya coba memulai dengan salah satu yang paling mudah dan murah saja, yaitu menulis apa yang mereka lakukan, dan menyebarkan kepada publik. Ada yang ikut menambahkan?

Read More ..

Sabtu, 05 Juli 2008

Pernikahan Korban Lapindo dengan Anggota Keluarga Bakrie (Bag 2)


Beberapa hari setelah kegiatan singkat saya dengan Mas Pepeng itu, ada muncul kabar berikutnya. Ternyata, keluarga "The Boss" yang menyebabkan semburan lumpur akan menikahkan salah seorang putrinya, yang bernama adinda bakrie *slurrpp* Yang heboh adalah, kabar betapa akan megahnya jalannya pernikahan itu. Biayanya aja diperkirakan akan menelan 2 digit miliar rupiah (pinjam ekspresi Untung waktu diberitahu Artalyta besarnya uang suap untuk Urip, Laillahilallah). Kawan-kawan di BerantasLapindo menghitung kalau uang segitu akan cukup untuk memberi makan korban lapindo yang masih mengungsi di pasar porong selama 8 bulan.
Mendengar itu, ingatan saya langsung kembali pada acara mantenan yang dilaksanakan korban lapindo di pengungsian pasar baru Porong beberapa saat sebelumnya. Betapa memang sangat kontras perbedaan itu. Saya tidak bisa membayangkan, seperti apa mewahnya acara yang akan digelar itu. Saya tidak bisa membayangkan betapa bahagia kedua mempelai nantinya, di sanjung oleh para tamu yang pastinya hebat2 (korban lapindo ada yang diundang gak yah?). Lalu, seperti jamaknya cara berpikir Wong nDeso kebanyakan, mindahniyo buwuhane. Berapa banyak hadiah perkawinan yang akan mereka terima. Dan satu hal yang pasti, malam pertama si pasangan pengantin pastinya tidak akan dipusingkan dengan nyamuk dan tikus yang lalu lalang di sekitar peraduan mereka.

Ah, ketika kemudian mode baik hati saya on, jangan sirik ah. Yah wajar lah orang tua dimana2 menggelar acara perkawinan anaknya semewah mungkin. Di desa saja, kalau perlu dibela-belain sampe utang segala, biar acaranya kelihatan pantes. Lha apalagi ini, keluarga terkaya se Asia Tenggara, ya duit segitu seh gak ada apa-apanya. Keciilll. Terus saya juga kepikiran, kalau sampe saya ikut2an menghujat rencana pernikahan itu, kan kasihan tuh si Adinda *slurrppp lagi, makin banyak* Dia kan gak tahu menahu kesalahan yang dilakukan bapak dan pakdenya. Masa karena kebencian kita kepada seseorang, menyeret orang2 dan anggota keluarga lainnya. Nggak, ah, pikir saya waktu itu. Biarin, toh masih banyak masalah yang lain yang jauh lebih penting untuk dipikirkan.
Bahkan ketika ada salah satu korban lapindo mengusulkan cara yang menurut saya cukup inovatif untuk menarik perhatian publik terhadap masalah Lapindo, saya menanggapi dengan adem ayem saja. Si penulis mengajak siapapun yang peduli masalah Lapindo ramai2 melakukan demo di acara pernikahan itu, yang kabarnya pertengahan bulan Juli di Hotel Mulia dan dilanjutkan Agustus di Bali. Kalau perlu, menurutnya, kita demo di depan hotel tempat penyelenggaraan acara, sehingga para tamu tidak bisa masuk. Wah seru juga nih idenya. Tapi saya haqqul yakin tempat penyelenggaraan acara pada hari H-nya, akan dilakukan pengamanan seketat istana negara.
Meski begitu, ide tersebut hanya sepintas lalu saja dan tidak ada yang menajamkan lebih lanjut. Sampai kemudian saya bertemu dengan teman SMP yang jadi debt collector seperti saya sebutkan di awal tulisan. Bahwa, untuk menagih penunggak yang membandel, cara yang paling efektif adalah dengan 'memperlakukan' si penunggak di depan keluarga, teman dan tetangganya. Sebab cara-cara formal apapun, sepanjang itu tidak mengusik secara langsung posisi si penunggak di depan lingkungan terdekatnya, urai teman saya, tidak akan banyak mendorong si penunggak utang untuk tergerak melunasi utangnya.
Dengan analogi ini, saya jadi ingat kejadian di akhir tahun 2007, sewaktu belasan korban lapindo menghadiri ajang UNFCCC di Bali. Betapa kami harus mengalami serangkaian kejadian yang sangat berlebihan dari aparat keamanan dalam perjalanan kesana. Dalam kejadian yang minim sekali diliput media itu, kami diperlakukan layaknya serombongan teroris yang sudah di DPO-kan. Kami diikuti sejak beberapa hari sebelum berangkat, mobil yang kami tumpangi dicegat keamanan bersenjata lengkap dan kendaraan taktis, ditahan selama 8 jam, dipaksa menandatangani pernyataan yang mengebiri hak kami untuk menyampaikan pendapat, sampai diikuti oleh intel (dan jubir BPLS, halah) kemanapun kami pergi.
Ada apa ini, pikir kami waktu itu. Kami kan tidak ada niatan jelek apapun untuk mengganggu jalannya acara. Lagian, tempat berlangsungnya acara ini kan masih dalam wilayah republik ini. Padahal, kami datang ke acara itu juga diundang secara resmi oleh CSO forum, untuk berbagi informasi dengan semua korban pembangunan di Indonesia dan dari penjuru dunia. Sampai kemudian kami diberitahu bahwa ternyata yang mengepalai hajatan UNFCCC adalah "Si Om". Oalah, pantes aja, pikir saya belakangan. Rupanya si "Kau Tahu Siapa" mungkin takut kami bakal wadul tentang nasib kami tamu-tamunya. Lak yo isin, kalau misalnya semua delegasi sampe paham bahwa ketua Steering Commitee UNFCCC ternyata yang menjadi penyebab kejahatan lingkungan terbesar di Sidoarjo. Makanya kok kami sebisa mungkin dicegah untuk tidak jadi datang ke Bali dan mengabarkan kepada dunia apa yang terjadi di Sidoarjo.
sampai

***

Maka kalau asumsi di atas benar, mengganggu rencana pernikahan anggota keluarga Bakrie akan mempunyai nilai yang strategis dalam mendorong agar Bakrie bertanggungjawab terhadap masalah dan nasib korban lumpur lapindo. Setelah berbagai upaya untuk menuntut tanggungjawab Bakrie terhadap masalah Lapindo tampaknya membentur tembok, trik teman debt collector saya bisa jadi pilihan yang layak dipertimbangkan. Kita bikin aja Bakrie menjadi malu karena mengelak dari tanggung jawab dalam masalah Lapindo. Kita bikin keluarga, kerabat, teman dan tetangga mereka menyadari bahwa Bakrie sedang 'mangkir dari hutang' terhadap korban Lapindo.
Romo Magnis sebenarnya sudah memberi contoh dalam hal ini, dengan terang-terangan menolak pemberian Bakrie Award karena isu Lapindo. Maka, tanpa bermaksud mengganggu kebahagiaan Adinda Bakrie (aahhhhhh...., lama2 ngeliat dia kayak si Kardhasian yah) dan calon suaminya, perlu ada yang melakukan sesuatu agar rencana pernikahan itu menjadi hal yang memalukan. Perlu diserukan kepada semua undangan untuk memboikot dan menolak hadir dalam acara pernikahan. ICW mungkin perlu bikin 'ancaman' bagi siapapun yang datang ke acara itu, nantinya dimasukkan semacam daftar politisi busuk (istilahnya apa ya? 'anti' korban lapindo, orang2 yang tumpul nurani, penjagong manten busuk *halah* terserah apa situ-lah yang lebih ahli).
Atau kalau perlu, seperti usulan seorang korban lapindo diatas, diorganisir aja demo di acara pernikahannya. Atau tidak dalam bentuk demo, tapi kita ngumpul ala ngerubutin selebriti yang jalan di red carpet sewaktu malam perayaan OSCAR. Cuman bedanya, kalau tamu yang datang di malam OSCAR akan dielu-elukan oleh fans, diwawancara dan difoto penuh gemerlap dari media infotainment. Tapi kalau mereka yang datang ke acara pernikahan itu, di teriaki ramai2 ala suporter bola kita neriakin wasit yang brengsek. Kalau perlu diwawancara dan difoto untuk besoknya dipampang dan diprofil sebagai orang yang gak punya rasa kepedulian. Atau masing-masing tamu kita beri suvenir lumpur (mode sarkas on, yo ke-enak-en, lumpure di guyangno ae).
Jadi *helpless mode on* kapan BEM se Indonesia atau FORKOT (atau Munarman? Lha 99 persen korban lumpur kan wong Islam, kok nggak dibelani?) datang ke Sidoarjo untuk ngambil lumpur buat acara ini? Tak sediani rong trek.

Read More ..

Selasa, 01 Juli 2008

Pernikahan Korban Lapindo dengan Anggota Keluarga Bakrie (bag 1)


Saya sebenarnya enggan menulis posting ini, karena takut akan berdampak kepada pihak yang tidak ada hubungannya dengan masalah Lapindo. Sampai kemudian kemarin sy jumpa kawan lama yg ternya sekarang berprofesi jadi debt collector. Ceritanya, omongan bermuara pada bagaimana cara memaksa Bakrie bertanggungjawab. Usulan sahabat saya, permalukan dia dan keluarga-nya di mata tetangga. Gak perlu pakai kekerasan, tidak perlu intimidasi. Kawan saya bilang, trik itu selalu sukses dia pakai nagih utang. Sebandel apapun si penunggak, kalau dia masih manusia (lha ini sy yang ragu :)), mereka pasti akan nurut.

Anyway, mbalik ke masalah si "Kau Tahu Siapa", saya kemudian ingat ide tulisan yang cukup lama tertunda. Yaitu tentang masalah pernikahan salah seorang korban lapindo dengan anggota keluarga Bakrie. Eit, jangan keburu sewot. Saya tidak sedang menipu anda dengan judul yang sensasional. Ini sekedar kaidah bahasa Indonesia yang benar, untuk tidak mengulangi subyek:).
Maksudnya kan ada korban lapindo yang sedang menikah, ada juga anggota keluarga Bakrie yang sedang (akan) menikah. Dengan siapa? Ya dengan pasangannya masing2!

Nah, ceritanya, sekitar sebulan yang lalu, saya dihubungi Mas Pepeng dari Semarang. Iya benar, mas Pepeng escoret yang legendaris itu. Katanya dia ngelihat tulisan saya, dan tertarik untuk datang ke Sidoarjo, siapa tahu ada yang bisa dibantu. Setelah beberapa kali kontak2an, bahkan kopi darat di Semarang (lha iyo, kocik adohe, iyo lek kopi darat ambek Dewi Sandra dibelani teko nang Semarang soko Sidoarjo:)), akhirnya Mas Pepeng menepati janjinya datang ke Pasar Porong. Eh, ternyata yah, Mas Pepeng itu orangnya masih muda, gaul, tajir, alim lagi *halah* kok dadi ngomongne Mas Pepeng.



Pas di pasar, ternyata lagi ada mantenan. Nah karena saya yang biasa kelihatan kemana2 sok nenteng kamera dan handycam, biasanya sering ketiban sampur jadi seksi dokumentasi (kualitas lho kok ya gak nambah2 sejak jakul dulu ya, seksi dokumentasi. Padahal salah seorang anggota seksi dokumentasi dulu, sekarang jadi fotografer Kompas). Termasuk sore itu. Bahkan ngropel, dapat dua job. Sore motret, malamnya nyetir mobil untuk ngantar lamaran ke desa sebelah di Porong.

Pada saat motret2 itu, yah sebenarnya tidak ada perasaan apa2 di saya, selain bahwa yah ini agak beda dari kesehariannya, karena ya memang sedang ada mantenan itu. Beberapa tetua duduk di dalam bilik bersekat kain (istilah kami omah gombal=rumah dari kain lusuh), dengan hidangan yang ala kadarnya. Meskipun cuma ada beberapa orang undangan, mungkin kurang dari 10 orang, tapi karena ruangannya memang sempit (sekitar 3 x4 m. Oh ya, ini bukan kamar lho, ini rumah untuk 1 keluarga. Ya kamar tamu, ya dapur, ya kamar tidur, pokoknya semua), akhirnya terkesan berdesak2an. Untuk mengurangi hawa panas (atap pasar dari seng yang dibulan2 ini kalau siang hangudzubillah hot), di pojok ada kipas angin.

Yah memang cuman itu yang mereka mampu. Yah, mau gimana lagi. Toh si calon suami tetap mau menerima istri yang korban Lapindo. Toh besan juga tidak mempermasalahkan status keluarga yang tidak jelas dan tinggal di pasar. Meskipun semua sudah lenyap, masa depan yah harus disongsong, begitu pikir kedua mempelai. "Lha yok opo maneh mas, di turut2i lha tambah marakno gendeng. Poko'e keluarga wes gelem". Saya tidak tega nambahi pertanyaan, lha terus mau tinggal dimana? Saya mbayangin, pasti akan dibacok kalau tanya bulan madunya kemana? Melihat tempatnya, saya cuman bisa menghela nafas (sambil nyengir) mbayangin mereka menghabiskan malam pertama (plok, lamuke wakeh yo dik, atau tiba-tiba, ahhhh, tikusssss...What a first night, batinku)

***

Setelah ambil foto2, mas Pepeng yang juga ikut ternyata (belakangan saya nyadar) melihat itu semua dengan serius. Tidak banyak yang ditanyakan oleh Mas Pepeng. Paling tidak, tidak sebanyak 2 orang wartawan Kompas yang juga datang sore itu, mencari cerita untuk liputan 2 tahun lumpur Lapindo (dan peristiwa sederhana tadi memang lolos dari radar seorang jurnalis profesional). Sayapun tidak ada pikiran yang serius tentang peristiwa mantenan itu, selain cuman harus mikirin ngedit dan ngopi foto dan video dokumentasi kegiatan warga, seperti biasanya, kerja bakti :D

Sempat nginep semalam dan besoknya jalan2 ke tanggul dan desa2 yang sudah tenggelam, mas Pepeng pun kembali ke Semarang. Sekitar seminggu setelah itu, muncul tulisan di blog-nya (kalau sampeyan baca tulisan ini, sepurane mas, saya baru aja tahu tentang tulisan sampeyan, karena sempat sebulan saya mutung dengan internet. Dan ternyata yang sebenarnya saya mutungin itu ya karena saya ternyata masih 'butuh' direspon orang. Begitu ngelihat tulisan dan provokasi ternyata tidak mampu 'membakar', saya sempat kecewa. Tapi sekarang saya mau egois aja deh. biarin, onani... onani deh, mau ada yang baca atau tidak, peduli Bakrie :))

Judulnya, korban Lapindo masih melawan. Salah satu kisah yang diceritakan adalah tentang mantenan tersebut. Dan ternyata banyak sekali yang ngomentari (lha ya emang blogger selebritis seh:)) Dan betapa lugasnya dia menceritakan, meskipun tanpa wawancara yang ndakik-ndakik. Dan betapa mudahnya menggambarkan segala penderitaan yang terjadi di sana. (Ayo-ayo, para blogger se Indonesia, ada lowongan nih, mumpung korban Lapindo masih ada. Bulan depan mereka sudah jadi mitra jual beli-nya Bakrie semua. Ayo ramai2 datang ke Sidoarjo dan tuliskan bukti nyata kebejatan Lapindo dan kemandulan pemerintah disana)

(bersambung ke bag 2)

foto dari escoret.net

Read More ..

Lapindo=Bakrie


Berbagai tulisan terdahulu saya selalu mencampur adukkan antara berbagai hal yang terkait dengan Lapindo. Kadang Lapindo, atau Lapindo Brantas Indonesia. Atau saya sebut Aburizal Bakrie. Kadang juga Bakrie Group. Di tulisan yang lain, pasti saya akan uraikan secara detil tentang hubungan2 ini. Tapi untuk sekarang, intinya adalah saya tidak mau tahu. Peduli setan dengan masalah legal formal. Bagi saya, yang menyebabkan desa saya tenggelam adalah Lapindo, dan yang punya Lapindo adalah si "Kau Tahu Siapa". Jadi POKOKNYA!


Meskipun dalam banyak kesempatan, Aburizal Bakrie sering menyatakan bahwa dia tidak ada kaitannya dengan masalah Lapindo. Bahwa posisinya sebagai pengusaha sudah dilepaskan ketika dia sudah berhenti sebagai menteri di kabinet presiden SBY. Faktanya, dua tahun perjalanan tragedi Lapindo ini justru Bakrie sendiri yang menunjukkan bahwa, dia sebenarnya terkait sangat erat dengan masalah Lapindo, . Berikut fakta-faktanya :




Menko Kesra = Pemilik Lapindo

Sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Bakrie mestinya bertanggung jawab menangani semua kejadian bencana Indonesia, baik bencana alam maupun akibat bencana industri seperti kasus lumpur Lapindo. Nyatanya sejak awal semburan terjadi, tidak sekalipun Bakrie menginjakkan kakinya di Porong. Sekali-kalinya datang ke Sidoarjo, dia hanya nangkring di Juanda. Alasannya apa? Simpulin sendiri.

Berkali-kali sebagai Menko Kesra, Bakrie mengeluarkan pernyataan dan komentar yang sangat tidak relevan dengan jabatannya. Luar biasanya, pernyataan tersebut kemudian juga diulangi secara konsisten oleh pihak Lapindo melalui Yuniwati Teryana. Demikian juga isi website menko kesra, yang apabila memuat berbagai pernyataan terkait dengan masalah Lapindo, hampir sama dan identik sikap Lapindo. Dalam posisi sebagai seorang menteri, dia seharusnya membela korban lapindo. Alih-alih, berbagai komentar dan pernyataan Bakrie jelas sangat memihak dan mewakili seorang pemilik perusahaan yang tengah membela diri dan bertindak defensif karena mungkin secara tidak sadar, memang merasa bahwa Lapindo jelas bersalah. Alasannya apa? Simpulin lagi sendiri.

Grup Bakrie = Lapindo

Berbagai opini dilakukan untuk mencoba melepaskan Bakrie Brothers dari kaitan langsung dengan Lapindo. Tetapi berbagai tindakan dari Grup Bakrie sendiri meneguhkan bahwa Lapindo adalah bagian sah dari Grup Bakrie, dan Bakrie terlibat langsung dalam urusan lumpur Lapindo.

Yang dari awal melakukan kesalahan dan dituntut untuk bertanggungjawab akibat semburan lumpur adalah Lapindo. Tetapi dalam penanganannya, tidak hanya di level Energi Mega Persada yang terlibat, namun juga Grup Bakrie. Menurut Perpres, yang harus mengganti kerugian warga adalah Lapindo selaku perusahaan. Tetapi karena Lapindo dirasa tidak mampu, akhirnya mereka membuat perusahaan baru yang bernama Minarak Lapindo Jaya. Apa hubungannya MLJ ini dengan Lapindo atau EMP? Tidak ada. MLJ berada langsung dibawah Grup Bakrie.

Meskipun yang bertanggungjawab adalah Lapindo, dan Lapindo dibawah EMP, tetapi tahun 2007 tidak sepeserpun uang yang dikeluarkan oleh EMP untuk biaya mengatasi lumpur (bahkan pemegang 50 persen saham Lapindo tersebut tahun itu mencatat keuntungan). Lalu darimana pengeluaran berbagai biaya tersebut berasal? Lapindo bukan perusahaan terbuka, MLJ bukan perusahaan terbuka, dan EMP tidak mencatat pengeluaran. Jadi darimana lagi kalau tidak dari keuangan Grup?

Pertanyaanya, kalau mereka yakin tidak bersalah, mengapa mereka mau mengeluarkan uang sebanyak itu? Karena baik hati? Karena peduli? Tetapi kalau mereka benar-benar peduli, kenapa Bakrie tidak mau menyelesaikan hak warga secara adil dan menuntaskan semburan lumpur? Sebab andai saja Bakrie memang berniat membantu warga, dan menghentikan semburan lumpur, dana yang diperlukan tidak akan lebih dari 10 persen dari nilai kekayaan pribadi Aburizal Bakrie. Tapi, kenapa itu tidak dilakukan?

***

Merangkai semua fakta diatas, maka hanya satu kesimpulan yang bisa ditarik. Sebagai pemain pemain bisnis ulung, Bakrie tahu benar bagaimana meminimkan pengeluaran, sekaligus tahu benar bahwa Sidoarjo akan bisa dieksploitasi untuk pengembangan bisnisnya. Lapindo terkait langsung dengan Bakrie. Lapindo adalah kendaraan Bakrie untuk meraup keuntungan di masa depan dari kekayaan minyak dan gas maupun bisnis properti di Sidoarjo.

Meskipun orang bisa berdebat bahwa Lapindo tidak sengaja menyebabkan semburan lumpur, pengusaha jeli seperti Bakrie tidak akan gagal menangkap peluang, bahwa lumpur Lapindo ini adalah seperti fenomena kebakaran pasar tradisional. Dia mungkin bukan pelaku pembakaran, atau sama sekali tidak berniat untuk membakar. Tetapi dia tahu persis, bahwa membiarkan pasar terbakar, akan jauh lebih menguntungkan dibanding memadamkannya.

Dan sebagai investor yang jitu, betapapun kita orang waras akan menganggap perilaku itu sangat bejat, Bakrie tahu untuk memanfaatkan bencana itu. Lapindo adalah Bakrie, Bakrie adalah Lapindo. Silahkan siapapun, dari Bakrie sekalipun, membantah kesimpulan diatas. Tetapi argumen ini tidak akan bisa dikalahkan. Kalau tidak ada motivasi bisnis dibalik bencana Lapindo, ganti kerugian korban, lalu kembalikan lagi hak atas tanah dan bangunan mereka.

Jadi, anda sudah jelas kan, yang harus bertanggungjawab dalam masalah lumpur Lapindo adalah Bakrie. (Yang demi Allah saya berharap agar tidak sampai berimbas pada semua anak cucunya (Naudzubillah!) Om... om... mbok ya sadar sedikit, lha wong anda itu mampu lho)

Read More ..